IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
dosen pengampu :Widodo Winarso,M.Pd.I
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Belajar merupakan sebuah kebutuhan.
Karena dengan belajar kita dapat menambah wawasan yang luas dan memberikan
manfaat bagi seseorang yang ingin belajar. Dalam konteks ini pendidikan juga
menuntut adanya belajar untuk menunjang kegiatan pendidikan. Sebagaimana telah
kita ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam hal pendidikan.
Oleh karena itu dalam proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan
adanya belajar. Sejak zaman dahulu teori-teori belajar terus dikembangkan oleh
para ilmuan sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran belajar mereka
tersendiri.
Salah satu ciri pembelajaran
matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi
belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan
memahami teori-teori belajar ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik
guru, sehingga guru mampu mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam
aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan refleksi.
Adapun teori belajar selalu bertolak
dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu. Dengan perkembangan psikologi
dalam pendidikan, maka bermunculan pula teori-teori tentang belajar, dengan
itulah dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar. Maka
psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat. Berbagai teori
belajar dapat dikaji dan dapat diambil manfaat dengan adanya berbagai teori
tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan masing-masing.
- RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Van Hiele?
- Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Freud-Enthal?
- Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Confrey dan Cobb?
- Jelaskan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Polya, Treffers dan Zahorik?
- Jelaskan bagaimana imlplementasi teori-teori tersebut dalam pembelajaran matematika.
- TUJUAN
Tujuan makalah ini disusun yaitu
untuk menambah wawasan pengetahuan pembaca pada materi mata kuliah psikologi
pembelajaran matematika tentang pemikiran teori-teori. Selain itu penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu mata kuliah belajar dan pembelajaran
matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI VAN
HIELE
Belajar merupakan salah satu
kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup
dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas
pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Dimana melalui belajar seseorang dapat
memahami sesuatu konsep yang baru atau melalui perubahan tingkah laku, sikap
dan keterampilan.
Teori belajar kognitif lebih
menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pemikirannya untuk belajar,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang telah dipeorleh dan disimpan
pikirannya secara efektif. Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia
tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh
faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor intern ini berupa kemampuan
atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar dan dengan pengenalan itu
manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan
tersebut teori belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses
perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata lain bahwa aktivitas
belajar pada diri manusia ditentukan pada proses internal dalam pikiran yakni
proses pengolahan informasi.
Ciri – ciri aliran belajar kognitif :
1. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia.
2. Mementingkan peranan kognitif
3. Mementingkangkan kondisi waktu sekarang
4. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
5. Mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
6. Mengutamakan insight (pengertian, pemahaman)
Sesuai dengan kriteria matematika
maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar
kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks
perubahan tingkah laku.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas.
Salah satu teori dalam aliran
Kognitif yaitu dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang
dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan
mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang
mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele ada tiga
unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
pengajaran, jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan
kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.
Tahap belajar anak dalam belajar geometri:
• Tahap pengenalan (visualisasi)
Tingkat ini disebut juga tingkat
pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai
suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum
memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian,
meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum
mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri
bangun persegipanjang tersebut.
Anak mulai belajar mengenai suatu
bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
• Tahap analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat
deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat
ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun
dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki
dan keteraturan-keteraturan yang terdapat pada benda geometri yang diamatinya.
• Tahap pengurutan / Abtraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat
pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami
hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada
suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang
berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa
sudahmemahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa
juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang
lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi
adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri
persegipanjang.
Anak sudah mampu menarik kesimpulan
atau disebut berfikir deduktif walaupun belum berkembang secara penuh. Anak
juga sudah mampu mengurutkan keteraturan-keteraturan yang sudah dikenali
sebelumnya.
• Tahap deduksi formal
Pada tingkat ini siswa sudah
memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi,
aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa
sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada
tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat
deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Anak sudah mampu menarik kesimpulan
secara deduktif. Anak sudah mulai memahami dalil atau menggunakan aksioma dan
postulat yang digunakan dalam pembuktian.
• Tahap akurasi / Rigor
Tingkat ini disebut juga tingkat
metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal
tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa
membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa
memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Anak sudah mulai menyadari
pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi pembuktian. Menurut
Van Hiele ada tiga unsure dalam pengajaran matematika yaitu waktu,materi
pengajaran dan metode pengajaran,jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan
terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih
tinggi.
Hubungan aliran kognitif dengan
pembelajaran
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia
tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya , melainkan oleh
faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa
kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan
pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan
pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses
pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsure pikiran, untuk dapat mengenal
dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas
belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni
proses pengelolaan informasi.
Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di
dalam kognisi itu akan menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan
sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula
kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis
dan cara perberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana
sesaeorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan
untuk merespon stimulus yang berada di sekelilingnya. Oleh karena itu teori
belajar kognitif menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pikirannya
untuk belajar, mengingat dan menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan
disimpan didalam didalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar kognitif menekankan
pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa siswa sebagai subjek didik. Jadi
siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, Fungsi guru adalah menyediakan
tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman paking tinggi, dan
siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran
guru adalah:
a)
Memperlancar
proses pangkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara bermakna
dan relevan dengan siswa
b)
Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri
, dan
c)
Membimbing
siswa untuk menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.
Aplikasi Teori Belajar Kognitif Dalam Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori
kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan
penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Dalam
merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran
tidak lagi mekanistik sebagaimana pada teori behavioristik namun dengan
memperhitungkan kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Karakteristik dari proses belajar ini adalah:
- Belajar merupakan proses pembentukan makna berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki melalui interaksi secara langsung dengan obyek.
- Belajar merupakan proses pengembangan pemahaman dengan membuat pemahaman baru.
- Agar terjadi interaksi antara anak dan obyek pengetahuan, maka guru harus menyesuaikan obyek dengan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
- Proses belajar harus dihadirkan secara autentik dan alami. Anak dihadirkan dalam situasi obyek sesungguhnya dan harus sesuai dengan perkembangan anak.
- Guru mendorong dan menerima otonomi dan insiatif anak.
- Memberi kegiatan yang menumbuhkan rasa keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan ide dan mengkomunikasikannya dengan orang lain.
- Guru menyusun tugas dengan menggunakan terminologi kognitif yaitu meminta anak untuk mengklasifikasi, menganalisa, memprediksi.
- Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk merespon proses pembelajaran.
- Guru memberi kesempatan berpikir setelah memberi pertanyaan.
B.
TEORI
FREUD-ENTHAL
Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) atau disebut juga Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran
matematika yang diperkenalkan oleh Hans Freudenthal, bahwa matematika merupakan
proses insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berpendapat
bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah
jadi.
Pendidikan
matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang
memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention)
matematika berdasarkan usaha mereka sendiri. Pembelajaran matematika dengan
pendekatan realistik juga memberikan peluang pada siswa untuk aktif
mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang
dimulai dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa diberi
kebebasan menemukan strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru membimbing
siswa menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui
matematisasi horisontal dan Vertikal.
Dalam matematisasi horisontal, siswa mulai
dari soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang
dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap
siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa
lain. Dalam matematisasi vertikal,
kita juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang kita
dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan konteks.
- Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Untuk dapat
melaksanakan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) harus mengetahui beberapa
prinsip yang digunakan PMR. Pembelajaran Matematika Realistik menggunakan
prinsip-prinsip RME. Ada tiga prinsip RME menurut Gravemeijer dalam Supinah dan
Agus D.W (2009: 72-74) yaitu Guided
reinvention, Didactical Phenomenology dan Self Developed Models.
1)
Guided Reinvention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang
Memberikan
kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual
yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau
ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak
dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti
contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya
melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi, teorema,
ataupun aturan oleh siswa sendiri.
2)
Didactical Phenomenology atau Penomena Didaktik
Topik-topik
matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan
matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi
informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai
untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama
untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri
mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan
dapat melangkah ke arah matematisasi
horisontal dan matematisasi
vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin
dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika
yang lebih formal. Dalam hal ini, siswa diharapkan dalam memecahkan masalah
dapat melangkah ke arah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau
mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika
tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya
(matematisasi vertikal).
Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De
Lange menyebutkan proses matematisasi
horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal
yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model,
membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain
meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus),
membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru,
melakukan generalisasi, dan sebagainya. Proses matematisasi horisontal-vertikal
inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami
matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan
pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka
ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani
berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda
atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya
juga benar. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada di dalam kelas,
maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi
pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang
berorientasi pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah.
3)
Self Developed Models atau Model di
Bangun Sendiri oleh Siswa
Pada waktu
siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model
ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi
horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk
memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan
memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa.
- Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Beberapa karakteristik
pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer dalam Tarigan (2006: 6)
adalah sebagai berikut:
1)
Penggunaan konteks, yaitu proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan
siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
2)
Instrumen vertikal, yaitu konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh
siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur
informal ke bentuk formal.
3)
Konstribusi siswa, yaitu siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika
berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan guru, secara
aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
4)
Kegiatan interaktif, yaitu kegiatan belajar bersifat interaktif, yang
memungkinkan terjadi negosiasi antar siswa.
5)
Keterkaitan topik, yaitu pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan
berbagai topik matematika.
- Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Secara umum
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1)
Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami
masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa
dalam menyelesaikannya.
2)
Pembukaan
Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai
dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata kemudian siswa diminta untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
3)
Proses pembelajaran
Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Setiap
siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau
kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil
kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan
memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik
serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
C.
TEORI
CONFREY
Confrey (1990), yang juga banyak
bicara dalam kontruktivisme menawarkan suatu powerful construksion dalam
matematika. Dalam mengkonstruksikan pengertian matematika melalui pengalaman,ia
mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful construksion berfikir
siswa.Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerful contruction” ditandai oleh :
a.
Sebuah struktur dengan ukuran
kekonsistenan interna
b.
Suatu keterpaduan antar bermacam –
macam konsep.
c.
Suatu kekovergenan di antara aneka
bentuk dan konteks
d.
Kemampuan untuk merefeksi dan
menjelaskan
e.
Sebuah kesinambungan sejarah
f.
Terikat kepada bermacam – macam
sistem simbol
g.
Suatu yang cocok dengan pendapat
experts
h.
Suatu yang potensial untuk bertindak
sebagai alat untuk brtindak sebagai
alat konstruksi lebih lanjut.
Semua ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mngajar dikelas.Menurut Confrey (1990),siswa – siswa yang belajar matematika seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluabi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya.Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berfikirnya siswa.
Kronstruksivisme
merupakan landasan berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata.
Siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan suatu permasalahan, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide
bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks
kesituasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi
proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam
proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan
berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivitif, yang
lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivitis,
strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa
memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi
proses tersebut dengan :
- Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
- Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
- Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang
melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila
selalu diuji dengan pengalaman baru.
D.
TEORI COBB
Proses pembelajaran
yang terjadi menurut pandangan konstruktivisme menekankan pada kualitas dari
keaktifan siswa dalam menginterpretasikan dan membangun pengetahuannya. Setiap
organisme menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan
menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses aktif dalam mana organisme atau
individu berinteraksi dengan lingkungannya dan mentransformasinya ke dalam
pikirannya dengan bantuan struktur kognitif yang telah ada dalarn pikirannya
(Cobb, 1994:15).
Realistis
konstruktivisme – kognisi merupakan proses yang pada akhirnya peserta didik
membangun struktur mental yang sesuai dengan atau mencocokkan struktur
eksternal yang terletak di lingkungan.
Konstruktivisme
radikal – kognisi berfungsi untuk mengatur pengalaman pembelajar dunia bukan
untuk menemukan realitas ontologis. (Cobb, 1996, dalam Smorgansbord, 1997).
E.
TEORI POLYA
Polya
merupakan seorang matematikawan yang Jangkauan matematika sangat beragam, namun
yang memberi nama besar padanya adalah sistem gagasannya yang menjadi
pedoman dalam penyelesaian masalah (problem solving). Polya Mengartikan
pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan
keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah
untuk segera dicapai.
Polya mengklasifikasikan masalah dalam matematika
sebagai berikut:
a) One rule
under your nose.
b) Application with
some choice.
c) Choice of
combination.
d) Approaching
research level.
Pedoman dalam menyelesaian masalah yang disingkat
dengan:
1. See (melihat),
2. Plan (rencana),
3. Do (kerjakan) dan
4. Check (periksa kembali).
Ada empat gambaran umum dari Kerangka kerja Problem
Solving Polya:
- Pemahaman pada masalah (Identifikasi tujuan)
Langkah
pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa anda memahaminya secara
benar.
- Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Carilah
hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui.
- Malaksanakan Rencana
Menyelesaikan
rencana anda. Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita
harus memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail
untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar.
- Lihatlah kembali
Ujilah
solusi yang telah didapatkan.Kritisi hasilnya. lihatlah kelemahan dari solusi
yang didapatkan (seperti ketidak konsistenan
atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar ).
Suatu pertanyaan akan menjadi
masalah jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (chalange) yang
tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang
sudah diketahui oleh si pelaku. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah.
Bagi seseorang suatu pertanyaan bisa menjadi suatu masalah sedang bagi orang
lain tidak.
F.
TEORI
TREFFERS
Dua jenis
matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal
dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian,
perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan
pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh
matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus,
perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda,
dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen,
2000) .
Berdasarkan
matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik,
strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan
Mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih
kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.
Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan
Emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak
diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi
horisontal.
Pendekatan
Strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,
misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai
tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan
Realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik
sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi
horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi
konsep-konsep matematika.
Karakteristik PMR
Karakteristik
PMR adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment)
(Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).
- Menggunakan konteks, Konteks yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lingkuingan keseharian yang nyata (yang dikenal) siswa.
- Menggunakan model, Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis (http/darsusianto-blogspot. Com 2007/08/matematika realistik/html).
- Menggunakan kontribusi murid, Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dan konstruksi peserta didik sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informai mereka ke arah yang lebih formal atau baku.
- Menggunakan Interaktif, Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa penjelasan, pembenaran, setuju, tidak, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
- Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, Topik-topik yang peneliti berikan dikaitkan dan diintegrasikan sehingga memunculkan pemahaman suatu konsep atau operasi secara terpadu, agar hal tersebut dapat memberikan kemungkinan efisien dalam mengajarkan beberapa topik pelajaran.
G.
TEORI
ZAHORIK
Menurut
Zahorik (1995: 14-22) ada 5 elemen yang harus diperhatikan dalam praktik
pembelajaran kontekstual :
- pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
- Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memerhatikan detailnya.
- Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara.
a.
Konsep sementara (hipotesis)
b.
Melakukan sharing kepada orang lain
agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu.
c.
Konsep tersebut direvisi dan
dikembangkan.
- Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.
- Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Satu prinsip terpenting yang melandasi teori belajar konstruktivisme
adalah bahwa pembelajar tidak hanya memberikan pengetahuan kepada pebelajar.
Akan tetapi pebelajar harus membangun sendiri pengetahuannya. Pembelajaran bisa
saja menfasilitasi proses ini dengan berbagai cara mengajar yang membuat
informasi lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan pebelajar misalnya dengan
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk menemukan sendiri
informasi dan mengaplikasikannya, atau dengan pembelajaran yang mengupayakan
pebelajar memiliki kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam
belajar. Di sini pembelajar hanya memberikan kepada pebelajar tangga-tangga
menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan pebelajar yang harus menaiki
tangga-tangga tersebut dengan sendirinya.
Hakikat teori belajar konstruktivisme terletak pada gagasan bahwa
pebelajar sendiri yang menemukan dan mengolah pelbagai informasi atau ide-ide
yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut teori ini, pebelajar selalu
memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama,
dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak berfungsi lagi.
Pandangan konstruktivisme ini memiliki implikasi pada pembelajaran untuk
mengupayakan peserta didik sebagai pebelajar aktif. Karenanya strategi
konstruktivis ini seringkali disebut student-centered instruction,
pembelajaran yang terpusat pada pebelajar.
Filosofi
belajar konstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal,
tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat
fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Dalam proses
pembelajaran, siswa harus mendapatkan penekanan, aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar. Kreativitas
dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa.
- Implementasi dalam pendidikan matematika
Konsep-konsep
matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai
dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk
memahami topik atau konsep selanjutnya. Menurut konstruktivis secara
substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah.
Dalam hal ini fokus utama belajar
matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir
mengkonstruk pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli sebelumnya.
Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang
proses pembelajaran berlangsung (on going assesment)
Selain itu, data kemampuan siswa dalam matematika harus memasukkan pengetahuan
tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem solving,
reasoning dan komunikasi. Sedangkan Nisbet (1985) menyatakan bahwa “tak
ada cara tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk
mengajar. Namun demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan
yang cocok dengan mempertimbangkan kondisi siswa.
Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler dan Grouws (dalam Suherman, 2003)
menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum
antara negosiasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi,
Cobb dan Steffe menambahkan bahwa
“…..dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus
menyadarkan untuk mencoba keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang
siswa ”. Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka
proses mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan).
Sedangkan yang berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses memfasilitasi
suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru
dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk
mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat
melayani secara cukup perbedaan-perbedaan
individu siswa.
Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran
matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di
dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan
siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan)
pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam
paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru sanantiasa
menjawab ‘dengan segera‘ terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas
menjadikan posisi guru dalam pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan
siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang
dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang
menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka
sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu, implikasi
pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika, guru akan bertindak
sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk
terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.
Pembelajaran
matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai
dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat
memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh
melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku
pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar. Siswa dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya
berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan
dapat memberi suatu motivasi kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses
pembelajaran dan menimbulkan tangggapan positif terhadap matematika.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
·
Van Hiele adalah seorang guru bangsa
Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele
ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan
metode pengajaran, jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi
peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.
·
Teori pembelajaran matematika yang diperkenalkan oleh Hans Freudenthal,
bahwa matematika merupakan proses insani dan harus dikaitkan dengan realitas.
Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima
pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada
penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan
kembali (reinvention)
matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
·
Semua ciri powerful di atas dapat
digunakan secara efektif dalam proses belajar mngajar dikelas.Menurut Confrey
(1990),siswa – siswa yang belajar matematika seringkali hanya menerapkan satu
kriteria evaluabi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan
bertanya.Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika siswa
belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak
lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah
menjustifikasi berfikirnya siswa.
·
Menurut Cobb
,Suatu proses aktif dalam mana organisme atau individu berinteraksi dengan
lingkungannya dan mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan
struktur kognitif yang telah ada dalarn pikirannya.
·
Polya mengklasifikasikan masalah
dalam matematika sebagai berikut:
a) One rule under your nose.
b) Application with some choice.
c) Choice of combination.
d) Approaching research level.
·
Dua jenis
matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal
dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian,
perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan
pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh
matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus,
perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda,
dan penggeneralisasian.
·
Menurut Zahorik
(1995: 14-22) ada 5 elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran
kontekstual :
- pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
- Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memerhatikan detailnya.
- Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara.
- Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.
- Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
- KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima
bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah berikutnya.
Daftar pustaka
Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta
Naga, Dali S. 1992. Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan.
Jakarta:
Gunadarma
Sudjana, Nana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Sinar Baru
Algensindo
Baharudin dan Esa Nur
Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-ruzz
Media


0 komentar:
Posting Komentar