Sabtu, 29 Maret 2014

Teori psikologi belajar

Diposting oleh Unknown di 00.45
disusun oleh kelompok 4
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
dosen pengampu :Widodo Winarso,M.Pd.I


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

            Belajar merupakan sebuah kebutuhan. Karena dengan belajar kita dapat menambah wawasan yang luas dan memberikan manfaat bagi seseorang yang ingin belajar. Dalam konteks ini pendidikan juga menuntut adanya belajar untuk menunjang kegiatan pendidikan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam hal pendidikan. Oleh karena itu dalam proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya belajar. Sejak zaman dahulu teori-teori belajar terus dikembangkan oleh para ilmuan sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran belajar mereka tersendiri. 
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami teori-teori belajar ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik guru, sehingga guru mampu mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan refleksi.
            Adapun teori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu. Dengan perkembangan psikologi dalam pendidikan, maka bermunculan pula teori-teori tentang belajar, dengan itulah dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar. Maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat. Berbagai teori belajar dapat dikaji dan dapat diambil manfaat dengan adanya berbagai teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan masing-masing.




  1. RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Van Hiele?
  2. Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Freud-Enthal?
  3. Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Confrey dan Cobb?
  4. Jelaskan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Polya, Treffers dan Zahorik?
  5. Jelaskan bagaimana imlplementasi teori-teori tersebut dalam pembelajaran matematika.

  1. TUJUAN

            Tujuan makalah ini disusun yaitu untuk menambah wawasan pengetahuan pembaca pada materi mata kuliah psikologi pembelajaran matematika tentang pemikiran teori-teori. Selain itu penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu mata kuliah belajar dan pembelajaran matematika.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.                TEORI VAN HIELE

Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar.  Dimana melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru atau melalui perubahan tingkah laku, sikap dan keterampilan.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pemikirannya untuk belajar, mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang telah dipeorleh dan disimpan pikirannya secara efektif. Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor intern ini berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan tersebut teori belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata lain bahwa aktivitas belajar pada diri manusia ditentukan pada proses internal dalam pikiran yakni proses pengolahan informasi.
Ciri – ciri aliran belajar kognitif :
1. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia.
2. Mementingkan peranan kognitif
3. Mementingkangkan kondisi waktu sekarang
4. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
5. Mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
6. Mengutamakan insight (pengertian, pemahaman)
Sesuai dengan kriteria matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Salah satu teori dalam aliran Kognitif yaitu dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran, jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.

Tahap belajar anak dalam belajar geometri:
Tahap pengenalan (visualisasi)
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
Anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.

Tahap analisis

Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki dan keteraturan-keteraturan yang terdapat pada benda geometri yang diamatinya.

Tahap pengurutan / Abtraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudahmemahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
Anak sudah mampu menarik kesimpulan atau disebut berfikir deduktif walaupun belum berkembang secara penuh. Anak juga sudah mampu mengurutkan keteraturan-keteraturan yang sudah dikenali sebelumnya.

Tahap deduksi formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif. Anak sudah mulai memahami dalil atau menggunakan aksioma dan postulat yang digunakan dalam pembuktian.
 Tahap akurasi / Rigor
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Anak sudah mulai menyadari pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi pembuktian. Menurut Van Hiele ada tiga unsure dalam pengajaran matematika yaitu waktu,materi pengajaran dan metode pengajaran,jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.

Hubungan aliran kognitif dengan pembelajaran
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya , melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsure pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis dan cara perberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana sesaeorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada di sekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan didalam didalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa siswa sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, Fungsi guru adalah menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman paking tinggi, dan siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru adalah:
a)      Memperlancar proses pangkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara bermakna dan relevan dengan siswa
b)      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri , dan
c)      Membimbing siswa untuk menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.

Aplikasi Teori Belajar Kognitif  Dalam Pembelajaran

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran tidak lagi mekanistik sebagaimana pada teori behavioristik namun dengan memperhitungkan kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar agar belajar lebih bermakna bagi siswa.

Karakteristik dari proses belajar ini adalah:
  1. Belajar merupakan proses pembentukan makna berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki melalui interaksi secara langsung dengan obyek.
  2. Belajar merupakan proses pengembangan pemahaman dengan membuat pemahaman baru.
  3. Agar terjadi interaksi antara anak dan obyek pengetahuan, maka guru harus menyesuaikan obyek dengan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
  4. Proses belajar harus dihadirkan secara autentik dan alami. Anak dihadirkan dalam situasi obyek sesungguhnya dan harus sesuai dengan perkembangan anak.
  5. Guru mendorong dan menerima otonomi dan insiatif anak.
  6. Memberi kegiatan yang menumbuhkan rasa keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan ide dan mengkomunikasikannya dengan orang lain.
  7. Guru menyusun tugas dengan menggunakan terminologi kognitif yaitu meminta anak untuk mengklasifikasi, menganalisa, memprediksi.
  8. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk merespon proses pembelajaran.
  9. Guru memberi kesempatan berpikir setelah memberi pertanyaan.

B.                 TEORI FREUD-ENTHAL

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) atau disebut juga Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran matematika yang diperkenalkan oleh Hans Freudenthal, bahwa matematika merupakan proses insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri. Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik juga memberikan peluang pada siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang dimulai dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa diberi kebebasan menemukan strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru membimbing siswa menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui matematisasi horisontal dan Vertikal.
Dalam matematisasi horisontal, siswa mulai dari soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa lain. Dalam matematisasi vertikal, kita juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan konteks.
  1. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Untuk dapat melaksanakan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) harus mengetahui beberapa prinsip yang digunakan PMR. Pembelajaran Matematika Realistik menggunakan prinsip-prinsip RME. Ada tiga prinsip RME menurut Gravemeijer dalam Supinah dan Agus D.W (2009: 72-74) yaitu Guided reinvention, Didactical Phenomenology dan Self Developed Models.
1)                  Guided Reinvention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi, teorema, ataupun aturan oleh siswa sendiri.


2)                  Didactical Phenomenology atau Penomena Didaktik
Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah ke arah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya (matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan proses matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada di dalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah.
3)                   Self Developed Models atau Model di Bangun Sendiri oleh Siswa
Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa.

  1. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

Beberapa karakteristik pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer dalam Tarigan (2006: 6) adalah sebagai berikut:

1)      Penggunaan konteks, yaitu proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
2)      Instrumen vertikal, yaitu konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal.
3)      Konstribusi siswa, yaitu siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
4)      Kegiatan interaktif, yaitu kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadi negosiasi antar siswa.
5)      Keterkaitan topik, yaitu pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan berbagai topik matematika.


  1. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Secara umum langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)      Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
2)      Pembukaan
Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
3)      Proses pembelajaran
Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.

C.                TEORI CONFREY

Confrey (1990), yang juga banyak bicara dalam kontruktivisme menawarkan suatu powerful construksion dalam matematika. Dalam mengkonstruksikan pengertian matematika melalui pengalaman,ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful construksion berfikir siswa.Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerful contruction” ditandai oleh :
a.                   Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan interna
b.                  Suatu keterpaduan antar bermacam – macam konsep.
c.                   Suatu kekovergenan di antara aneka bentuk dan konteks
d.                  Kemampuan untuk merefeksi dan menjelaskan
e.                   Sebuah kesinambungan sejarah
f.                   Terikat kepada bermacam – macam sistem simbol
g.                  Suatu yang cocok dengan pendapat experts
h.                  Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk brtindak sebagai
alat konstruksi lebih lanjut.


            Semua ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mngajar dikelas.Menurut Confrey (1990),siswa – siswa yang belajar matematika seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluabi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya.Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berfikirnya siswa.
            Kronstruksivisme merupakan landasan berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
            Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
            Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan suatu permasalahan, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
           
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
            Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivitif, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivitis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
  1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
  2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
  3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.

D.                TEORI COBB

Proses pembelajaran yang terjadi menurut pandangan konstruktivisme menekankan pada kualitas dari keaktifan siswa dalam menginterpretasikan dan membangun pengetahuannya. Setiap organisme menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses aktif dalam mana organisme atau individu berinteraksi dengan lingkungannya dan mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif yang telah ada dalarn pikirannya (Cobb, 1994:15).
Realistis konstruktivisme – kognisi merupakan proses yang pada akhirnya peserta didik membangun struktur mental yang sesuai dengan atau mencocokkan struktur eksternal yang terletak di lingkungan.
Konstruktivisme radikal – kognisi berfungsi untuk mengatur pengalaman pembelajar dunia bukan untuk menemukan realitas ontologis. (Cobb, 1996, dalam Smorgansbord, 1997).
E.                 TEORI POLYA

Polya  merupakan seorang matematikawan yang Jangkauan matematika sangat beragam, namun yang memberi nama besar padanya adalah sistem gagasannya yang menjadi pedoman dalam penyelesaian masalah (problem solving). Polya Mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah untuk segera dicapai.

Polya mengklasifikasikan masalah dalam matematika sebagai berikut:
a)    One rule under your nose.
b)   Application with some choice.
c)    Choice of combination.
d)   Approaching research level.
Pedoman dalam menyelesaian masalah yang disingkat dengan:
1.    See (melihat),
2.    Plan (rencana),
3.    Do (kerjakan) dan
4.    Check (periksa kembali).

Ada empat gambaran umum dari Kerangka kerja Problem Solving Polya:

  1. Pemahaman pada masalah (Identifikasi tujuan)
Langkah pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa anda memahaminya secara benar.


  1. Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Carilah hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui.
  1. Malaksanakan Rencana
Menyelesaikan rencana anda. Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita harus memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar.
  1. Lihatlah kembali
Ujilah solusi yang telah didapatkan.Kritisi hasilnya. lihatlah kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti ketidak konsistenan atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar ).

Suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (chalange) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh si pelaku. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Bagi seseorang suatu pertanyaan bisa menjadi suatu masalah sedang bagi orang lain  tidak.

F.                 TEORI TREFFERS
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian.  Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang,  karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan Mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks).  Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.  Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan Emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan Strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan Realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.  Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Karakteristik PMR
Karakteristik PMR adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).
  • Menggunakan konteks, Konteks yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lingkuingan keseharian yang nyata (yang dikenal) siswa.
  • Menggunakan model, Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis (http/darsusianto-blogspot. Com 2007/08/matematika realistik/html).
  •  Menggunakan kontribusi murid, Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dan konstruksi peserta didik sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informai mereka ke arah yang lebih formal atau baku.
  • Menggunakan Interaktif, Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa penjelasan, pembenaran, setuju, tidak, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
  • Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, Topik-topik yang peneliti berikan dikaitkan dan diintegrasikan sehingga memunculkan pemahaman suatu konsep atau operasi secara terpadu, agar hal tersebut dapat memberikan kemungkinan efisien dalam mengajarkan beberapa topik pelajaran. 
G.                TEORI ZAHORIK

Menurut Zahorik (1995: 14-22) ada 5 elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual :
  1. pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
  2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memerhatikan detailnya.
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara.
a.       Konsep sementara (hipotesis)
b.      Melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu.
c.       Konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
  1. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.
  2. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

Satu prinsip terpenting yang melandasi teori belajar konstruktivisme adalah bahwa pembelajar tidak hanya memberikan pengetahuan kepada pebelajar. Akan tetapi pebelajar harus membangun sendiri pengetahuannya. Pembelajaran bisa saja menfasilitasi proses ini dengan berbagai cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan pebelajar misalnya dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk menemukan sendiri informasi dan mengaplikasikannya, atau dengan pembelajaran yang mengupayakan pebelajar memiliki kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam belajar. Di sini pembelajar hanya memberikan kepada pebelajar tangga-tangga menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan pebelajar yang harus menaiki tangga-tangga tersebut dengan sendirinya.
Hakikat teori belajar konstruktivisme terletak pada gagasan bahwa pebelajar sendiri yang menemukan dan mengolah pelbagai informasi atau ide-ide yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut teori ini, pebelajar selalu memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama, dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak berfungsi lagi.
Pandangan konstruktivisme ini memiliki implikasi pada pembelajaran untuk mengupayakan peserta didik sebagai pebelajar aktif. Karenanya strategi konstruktivis ini seringkali disebut student-centered instruction, pembelajaran yang terpusat pada pebelajar.
Filosofi belajar konstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Dalam proses pembelajaran, siswa harus mendapatkan penekanan, aktif  mengembangkan pengetahuan mereka, dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

  1. Implementasi dalam pendidikan matematika
Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Menurut konstruktivis secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah.
Dalam hal ini fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir mengkonstruk pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli sebelumnya. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment)
Selain itu, data kemampuan siswa dalam matematika harus memasukkan pengetahuan tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem solving, reasoning dan komunikasi. Sedangkan Nisbet (1985) menyatakan bahwa “tak ada cara tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar. Namun demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan mempertimbangkan kondisi siswa.
Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler dan Grouws (dalam Suherman, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb dan Steffe menambahkan bahwa  “…..dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk mencoba keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa ”. Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses memfasilitasi suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaan-perbedaan  individu siswa.
Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru sanantiasa menjawab ‘dengan segera‘ terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu, implikasi pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika, guru akan bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.

Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar. Siswa dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat memberi suatu motivasi kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan menimbulkan tangggapan positif terhadap matematika.










BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
·         Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran, jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.
·         Teori pembelajaran matematika yang diperkenalkan oleh Hans Freudenthal, bahwa matematika merupakan proses insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
·         Semua ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mngajar dikelas.Menurut Confrey (1990),siswa – siswa yang belajar matematika seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluabi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya.Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berfikirnya siswa.
·         Menurut Cobb ,Suatu proses aktif dalam mana organisme atau individu berinteraksi dengan lingkungannya dan mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif yang telah ada dalarn pikirannya.
·         Polya mengklasifikasikan masalah dalam matematika sebagai berikut:
a)    One rule under your nose.
b)   Application with some choice.
c)    Choice of combination.
d)   Approaching research level.
·         Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. 
·         Menurut Zahorik (1995: 14-22) ada 5 elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual :
    1. pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
    2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memerhatikan detailnya.
    3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara.
    4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.
    5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
           


  1. KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
 
Daftar pustaka

Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Naga, Dali S. 1992. Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta:
Gunadarma
Sudjana, Nana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-ruzz Media






0 komentar:

Posting Komentar

 

shandy tiara Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review