Disusun oleh kelompok 2
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Dosen pengampu : Widodo Winarso,M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembelajaran merupakan suatu hal yang kompleks dan
selalu berkaitan dengan berbagai bidang. Tak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Pembelajaran merupakan sebuah kebutuhan yang nantinya dapat
memberikan berbagai manfaat dan wawasan kepada pelajar. Dalam hal ini,
pendidikan juga menuntut adanya pembelajaran untuk menunjang kegiatan
pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembelajaran merupakan hal yang
penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam proses belajar terdapat
teori-teori yang memunculkan adanya pembelajaran. Dari zaman dahulu, para
ilmuwan terus mengembangkan teori-teori pembelajaran sebagai temuan mereka
untuk mengembangkan pemikiran pembelajaran mereka.
Era globalisasi telah
membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya teori-teori pembelajaran
yang baru guna menyempurnakan teori-teori yang telah ada sebelumnya. Akan
tetapi, kita sebagai insan tak bisa bertolak dengan adanya teori pembelajaran
yang telah ada sebelumnya. Adapun teori pembelajaran selalu bertolak dari sudut
pandangan psikologi belajar tertentu.
Dengan perkembangan
psikologi dalam pendidikan, maka bermunculan pula berbagai teori tentang
pembelajaran, justru dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang
pembelajaran, maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat.
Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan menyempurnakan teori-teori yang
sebelumnya. Berbagai teori pembelajaran dapat dikaji dan diambil manfaat dengan
adanya teori tersebut. tentunya setiap teori pembelajaran memiliki keistimewaan
tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori pembelajaran juga terdapat
kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut. dalam hal ini, kelompok
kami akan mengkaji beberapa teori-teori
belajar yang dikemukakan oleh Thorndike, Skinner, Au-Sambel, dan teori
menurut Gigne dan bagaimana cara mengimplementasikan kedalam pembelajaran
matematika.
B.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana teori Pembelajaran menurut Teori Thorndike?
b. Bagaimana teori Pembelajaran menurut Teori Skinner?
c. Bagaimana teori Pembelajaran menurut Teori Au-Sumbel?
d. Bagaimana teori Pembelajaran menurut Teori Gagne?
e. Bagaimana teori-teori tersebut di
Implementasikan dalam Pembelajaran Matematika?
C.
Tujuan
a. Agar
kita bisa mengetahui teori
Pembelajaran menurut teori
Thorndike.
b. Agar
kita bisa mengetahui teori Pembelajaran menurut teori Skinner.
c. Agar
kita bisa mengetahui teori Psikologi Pembelajaran menurut teori
Au-Sumbel.
d. Agar
kita bisa mengetahui teori Psikologi Pembelajaran menurut teori Gagne.
e. Agar
kita bisa mengetahui cara
mengimplementasikan teori–teori tersebut
ke dalam Pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Pelaziman Operan: Thorndike
Thorndike adalah orang yang
mengemukakan teori konektionisme. Thorndike melakukan kajian yang menuntut
reaksi perilaku dari subjek percobaannya. Percobaan yang dilakukan Thorndike
ialah terhadap hewan (kucing) lapar yang ditempatkan dalam suatu kandang dan
diperlihatkan adanya makanan di luar kandang itu. Apabila kucing itu melihat
makanan, maka ia akan berusaha mencari jalan untuk keluar dari kandang agar
mendapatkan makanan. Dalam usaha mencari jalan keluar, kucing menunjukkan
sebuah perilaku yang pada suatu waktu ia menyentuh sebuah tombol yang menyebabakan
pintu terbuka. Dalam kondisi yang sama, percobaan itu dilakukan berulang-ulang.
Ternyata bahwa waktu yang diperlukan oleh kucing mulai dari melihat makanan
sampai berhasil membuka pintu, terjadi penurunan mulai dari percobaan pertama,
kedua, dan selanjutnya. Percobaan ini membuktikan bahwa apabila suatu tindak
balas memberikan hasil yang memuaskan, maka tindak balas itu akan diulanginya
kembali. Dalam hal ini ialah kucing menemukan tombol yang ternyata memberikan
hasil memuaskan yaitu pintu terbuka dan mendapatkan makanan. Perbuatan itu
dilakukan lagi karena memberikan hasil.
Percobaan Thorndike disebut sebagai instrumental conditioning atau pelaziman
instrumental (alat) yang artinya bahwa suatu tindak balas itu pada dasarnya
merupakan instrument atau alat untuk mencapai suatu tujuan. Dalam percobaan
tersebut, perilaku membuka pintu kandang merupakan alat untuk mencapai suatu
tujuan (makanan). Dari percobaan Thorndike dibuktikan pula terjadinya
pembentukan hubungan antara rangsangan dengan perilaku tertentu. Oleh karena
itu, teori Thorndike ini disebut juga sebagai teori connectionism. Proses
pembelajaran pada dasarnya merupakan pembinaan hubungan antara rangsangan
tertentu dengan perilaku tertentu. Semua pembelajaran dilakukan melalui suatu
proses coba-salah (trial an error) di
mana akan terjadi proses memilih dan mengaitkan rangsangan dengan tindak balas.
Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error yaitu: adanya aktivitas, ada berbagai
respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasi terhadap berbagai respon yang
salah.
Dalam proses pembelajaran, motivasi, ganjaran, dan
hukuman memegang peran yang penting. Motivasi mendorong individu untuk
melakukan tindakan dalam mencoba tujuan (dalam percobaan Thorndike, lapar
merupakan motivasi dan makanan merupakan tujuan). Sedangkan ganjaran memberikan
penguatan bagi tindakan tertentu, dan hukuman akan mengurangi tindakan yang
tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Ada tiga hukum pembelajaran dalam teori Thorndike
ini, yaitu:
1. hukum hasil (law of effect)
Hukum
ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuat pautan
antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan keadaan yang menjengkelkan
memperlemah pautan itu. Thorndike kemudian memperbaiki hukum efek itu, sehingga
hukuman tidak sama pengaruhnya dengan ganjaran dalam belajar.
2. Hukum latihan (law of exercise)
Hukum
ini menjelaskan keadaan seperti dikatakan pepatah “Latihan menjadi sempurna”.
Dengan kata lain, pengalaman yang diulang-ulang akan memperbesar peluang
timbulnya respons (tanggapan) yang benar. Akan tetapi pengulangan-pengulangan
yang tidak disertai keadaan yang memuaskan tidak akan meningkatkan belajar.
3. Hukum kesiapan (law of readiness)
Hukum
ini melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut “memuaskan”,
atau “menjengkelkan” itu. Secara singkat, pelaksanaan tindakan sebagai respons
terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan
menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya menimbulkan
kejengkelan.
Dalam kaitan dengan pembelajaran dalam pendidikan,
Thorndike menambahkan lima macam hukum pembelajaran lagi yang disebutnya
sebagai hukum-hukum minor. Kelima hukum tersebut adalah:
Pertama,
Hukum gerak tindak aneka (multiple
response), yaitu hukum yang menyatakan bahwa dalam satu rangsangan dapat
menghasilkan beraneka tindak balas. Contohnya keterampilan dalam main tenis,
dapat menghasilkan bermacam-macam gerakan untuk menghadapi bola.
Kedua,
hukum sikap atau keadaan awal (attitudes
dispositions or state), yaitu
yang menyatakan bahwa kondisi individu pada awal pembelajaran akan mempengaruhi
proses pembelajaran. Misalnya keadaan sikap dan kesiapan untuk memulai
pembelajaran, arahan untuk suatu aktivitas.
Ketiga,
hukum kemampuan memilih hal-hal penting (partialor
piecemeal activity of a situation),
yaitu kemampuan seorang pelajar memilih hal-hal yang dianggap penting dari
suatu keadaan dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggap penting.
Keempat,
hukum tindak balas melalui analogi (assimilation
of response by analogy), yaitu kemampuan individu untuk menggunakan tindak
balas dalam situasi yang baru dengan menggunakan tindak balas yang telah dimilikinya,
dengan penyesuaian seperlunya. Misalnya, menggunakan keterampilan bermain
badminton dalam bermain tenis.
Kelima,
hukum perpindahan berkait (associative
shifting), yaitu menggantikan atau melanjutkan suatu rangsangan, sehingga
tindak balas bersesuaian dengan rangsangan baru. Misalnya, meneruskan kebiasaan
memberikan bahan-bahan bacaan kepada anak agar ia selalu mau membaca dalam
setiap kesempatan.
Jadi, menurut Thorndike dasar dari belajar tidak
lain adalah asosiasi antara kesan panca indra dengan impuls untuk bertindak.
Asosiasi ini dinamakan connecting.
Sama maknanya dengan belajar adalah pembentukan hubungan yang erat bila sering
dilatih. Berkat latihan yang terus menerus, hubungan antar stimulus dan respons
itu akan menjadi terbiasa atau otomatis.
Terhadap teori konektionisme ini ada beberapa
kelemahan dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Belajar menurut teori ini bersifat
mekanis
Apabila ada
stimulus dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respons. Kelemahannya
anak didik banyak yang hafal bahan pelajaran, tetapi mereka kurang mengerti
cara pemakaiannya. Tidak jarang anak didik hafal sejumlah rumus matematika, rumus-rumus
bahasa asing, rumus-rumus fisika, dalil-dalil tertentu, tapi mereka kurang
dapat menerapkannya. Ilmu yang seseoeang punya lebih dekat dengan istilah
penumpukan ilmu yang bersifat kaku. Untuk menjawab soal-soal ulangan objektif
tes seperti benar-salah (true false)
atau multiple choice, ilmu pengetahuan yang bersifat mekanis (hafalan) akan
lebih cocok dan mendukung untuk tes atau soal-soal tertentu.
b. Pelajar bersifat teacher centered
(terpusat pada guru)
Guru yang aktif
dalam membelajarkan anak didik. Guru pemberi stimulus. Guru yang melatih dan
menentukan apa yang harus dikerjakan oleh anak didik.
c. Anak didik pasif
Anak didik
kurang terdorong untuk berpikir dan juga ia tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Anak
didik lebih mengharapkan stimulus dari guru. Bila tidak ada stimulus, anak
didik tidak kreatif dan aktif untuk belajar mandiri. Kemiskinan kreativitas
anak didik inilah yag tidak sesuai dengan konsep belajar discovery-inquiry.
d. Teori ini lebih mengutamakan materi
Materi cenderung
dijejalkan sebanyak-banyaknya ke dalam otak anak didik (cara-cara pendidikan
tradisional) dengan harapan anak didik banyak mempunyai pengetahuan. Pola
belajar seperti ini cenderung menjadi intelektualistik.
B.
Teori Pelaziman Operan: Skinner
Asumsi dasar teori skinner adalah bahwa perubahan
perilaku itu adalah fungsi daripada kondisi dan peristiwa lingkungan. Skinner
berpendapat bahwa terjadinya tidak balas (respons)
individu tidak hanya terjadi karena adanya rangsangan dari lingkungan, akan
tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu dilingkungan yang tidak diketahui atau
tidak disadari.
Pembelajaran menurut teori ini adalah perubahan
suatu tindak balas yang dikehendaki. Proses pembelajaran akan menghasilkan
tindak balas yang baru. Yang lebih penting dalam perwujudan suatu perilaku
ialah bukan rangsangannya, akan tetapi bagaimana individu memberikan tindak
balas terhadap rangsangan itu. Bila suatu tindak balas memberikan kepuasan,
maka tindak balas itu akan mendapat peneguhan positif yang memungkinan tindak
balas itu makin kuat dan meningkat. Sebaliknya, suatu tindak balas itu
memberikan hasil tidak memuaskan, maka akan terjadi peneguhan yang negatif,
sehingga mengurangi atau menghilangkan tindak balas tadi.
Dalam teori Skinner ini, prinsip peneguhan (reinforcement) memegang peran yang
penting daalam mewujudkan tindak balas baru. Peneguhan diartikan sebagai suatu
konsekuensi perilaku yang memperkuat perilaku tertentu. Ada dua macam
peneguhan, yaitu peneguhan positif dan peneguhan negatif. Peneguhan positif ialah
sesuatu rangsangan yang makin memperkuat atau mendorong suatu tindak balas.
Misalnya suatu pujian atau hadiah kepada anak yang telah memperoleh nilai
tinggi, dapat disebut peneguhan positif karena hadiah itu memperkuat anak untuk
terus meningkatkan tindak balas yaitu belajar lebih giat. Peneguhan negatif ialah peneguhan yang mendorong individu untuk
menghindari suatu tindak balas tertentu yang tidak memuaskan. Misalnya seorang
anak memperoleh hukuman dari gurunya karena melakukan kesalahan di dalam kelas.
Hukuman ini merupakan peneguhan negatif karena
mendorong anak itu untuk tidak melakukan lagi kesalahan di dalam kelas. Di
samping itu, dibedakan pula anatara peneguhan primer (primary reinforcement) dan peneguhan sekunder (secondary reinforcement). Peneguhan primer (primary reinforcement) ialah peneguhan yang dapat memperkuat suatu
tindak balas atau perilaku tanpa harus dipelajari atau dilatih dan sangat
esensial bagi kelangsungan hidup. Contoh peneguhan primer misalnya makanan,
minuman, rehat, hubungan sosial, dsb. Peneguhan sekunder (secondary reinforcement) ialah peneguhan yang terwujud karena
pelaziman. Misalnya adanya suara musik tertentu, dsb. dapat meneguhkan suatu
tindak balas.
Teori skinner ini banyak diterapkan dalam bidang
pendidikan formal terutama dalam metode dan teknologi pengajaran. Memilih
rangsangan dan memberikan peneguhan adalah merupakan unsur utama dalam
pengajaran. Dalam pengajaran di dalam kelas, unsur pelajar perlu mendapat
perhatian, terutama dalam aspek perbedaan individual, kesiapan untuk
pembelajaran, dan motivasi. Dalam proses pembelajaran perlu diperhatikan
masalah pemindahan pembelajaran (transfer
of learning), pembelajaran kecakapan “bagaimana belajar”, dan penyelesaian
masalah. Aspek lain yang perlu dikembangkan adalah peneguhan sosial, yaitu
lingkungan sosial yang dapat meneguhkan perilaku pembelajaran misalnya
aktivitas kelompok, teman sebaya, dukungan masyarakat, dsb.
Dalam mengembangkan suasana kelas yang positif,
teori Skinner menyarankan peringkat-peringkat sebagai berikut:
(1) menganalisis
keadaan lingkungan kelas
(2) mengembangkan hal-hal yang dapat menjadi
peneguhan positif
(3) memilih
perilaku-perilaku pembelajaran yang akan diterapkan dalam kelas
(4) menerapkan perilaku pembelajaran, dengan
memberikan pengendalian untuk
mencatat dan menyesuaikan kalau di perlukan.
Tokoh-tokoh lain yang juga mengembangkan teori
pembelajaran dalam kelompok teori pelaziman operan ialah Miller dan Dollard
dengan teori pengurangan dorongan, dan Albert Bandura & Walters dengan
teori pembelajaran melalui tiruan. Menurut miller dan Dollard, ada empat unsur
pokok dalam proses pembelajaran, yaitu dorongan, isyarat, tindak balas, dan
ganjaran. Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang sebaik-baiknya, keempat
unsur itu harus diwujudkan secara tepat. Menurut Albert Bandura & Walters,
pembelajaran dapat dilakukan melalui proses peniruan. Dalam perkembangan
selanjutnya, teori Bandura juga disebut sebagai teori Sosial-Kognitif.
Skinner (1904-1990) melakukan
eksperimen terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.
Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2.
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwwa yang dimaksud dengan
operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning (Ahmad
Sudrajat, 2009).
Skinner menganggap penghargaan (reward)
dan (reinforcement) merupakan factor penting dalam belajar. Skinner
berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku.
Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak
akan lebih rajin. Teori ini juga disebut
dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu
proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon
terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat
membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam
mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan
yang diinginkan.
Prinsip belajar Skinner adalah :
a)
Hasil belajar harus segera deberitahukan kepada siswa jika salah
dibetulkan jika benar diberi penguat.
b)
Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi
pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c)
Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri,
tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari
hukuman.
d)
Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaliknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforce.
e)
Dalam pembelajaran digunakan shapping.
C.
Teori David Ausubel
Ausubel terkenal dengan belajar bermaknanya dan
penting adanya pengulangan sebelum pelajaran dimulai (Advance Organizer).
Ausubel membedakan belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar
menerima bentuk akhir dari yang diajarkan itu diberikan sedangkan pada belajar
menemukan, bentuk akhir itu harus dicari siswa. misalnya, bila kita mengajarkan
rumus akar persamaan kuadrat, pada belajar menerima rumus akar persamaan
kuadrat itu diberitahukan. Sedangkan pada belajar menemukan rumus itu harus
ditemukan siswa.
Selain itu ia membedakan belajar
menghafal dengan belajar bermakna. Belajar
mengahafal ia belajar melalui
menghafalkan apa yang sudah diperoleh, sedangkan belajar bermakna ialah belajar
yang untuk memahami apa yang sudah diperolehnya itu lebih mengerti. Misalnya
siswa belajar perkalian fakta dasar,
misalnya, bisa
dengan jalan menghafal. Tetapi ia bisa juga
mengaitkan
itu dengan sebuah jajaran yang terdiri dari 5 baris
dan 6 kolom sehingga ia mengerti arti dari
itu.
Sewakatu menemukan metode dianggap
sebagai suatu metode mengajar yang baik, disebabkan karena dengan cara itu
siswa belajar dengan bermakna, dan sebaliknya metode ceramah (belajar menerima) tidak, Ausubel menentang
pendapat itu. Ia mengatakan bahwa baik belajar menemukan maupun belajar
menerima (dengan metode eksipositori),
kedua-duanya dapat menjadi belajar
menghafal atau belajar bermakna.
Praktek
Ausubel: Expository Teaching
1. Kebanyakan ahli pisikologi kognitif
memilih bentuk discovery learning, tetapi para behaviorist memilih fiuded
learning atau expository taching.namaun sementara itu ausubel seorang
pisikologis kognitif memilih ekspository teaching, ia mengemukakan,
jika exspository teaching itu dapat
diorganisasi dan disajikan secara baik akan dapat menghasilkan pengertian dan
resensi yang baik pula, sama halnya
dengan dicovery learning.
singkatanya, baik metode discovery maupun reception/expository,keduanya dapat diusahakan menjadi kermakna, atau menjadi hafalan (rote learning).
yang perlu di perhatikan guru ialag strategi mengajarnya.sebagai contoh pelajaran berhitung bisa menjadi rote learning bila mu rid hanya disuruh mengahfal formula-formula tanpa mengetahui arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa bermakna bila murid diajar sehingga tahu arti dan fungsi dari formula-formula tersebut.
singkatanya, baik metode discovery maupun reception/expository,keduanya dapat diusahakan menjadi kermakna, atau menjadi hafalan (rote learning).
yang perlu di perhatikan guru ialag strategi mengajarnya.sebagai contoh pelajaran berhitung bisa menjadi rote learning bila mu rid hanya disuruh mengahfal formula-formula tanpa mengetahui arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa bermakna bila murid diajar sehingga tahu arti dan fungsi dari formula-formula tersebut.
Dalam
hal ini bukan berarti Ausubel menolak discovery learning. Dia berpendapat bahwa
discovery lebih cocok bila diterapkan pada murid tingkat perkembangan kognitif
konkret. Tetapi bila murid telah
mencapai tingkat kognitif formal dapat dipakai metode reception.
2. Ausubel menolak pernyataan Burner yang menyatakan bahwa
discovery learning itu dapat menghasilkan suatu integrasi di dalam penggunaan
pengetahuan yang lebih teratur.
Untuk
itu menyatakan:
a. Kecakapan memecahkan problem tidak dapat
di transferkan kepada situasi lain, tetapi dibatasi oleh konteks di mana hal
itu dipelajari dan bahan itu untuk mana dipraktekan,
b. Terhadap “struktur“ bukan keunikan dari
pada discovery learning, tetapai karena ada suatu prioritas utama dari reception learning.
c. Pendekatan belajar dengan discovery
tidak dapat disatukan dengan motivasi intrinsik.murid dapat secara mudah diatur
oleh guru yang dinamis, yang mengetahui bagaimana menyusun bahan dan
menghubungkan bahan itu dengan minat murid.
3. Ausubel memberikan penjelasan bagaimana
bisa terjadi belajar secara hafalan dan belajar yang bermakna.
Terjadi
rote learning bila anak-anak tidak dapat menghubungkan informasi yang diterima
dengan struktur kognitifnya.akibatnya anak-anak lekas lupa.kecakapan untuk
menghubungkan informasi baru dengan pengertian-pengertian yang telah dimiliki
adalah penting.struktur kognitif merupakan dasar untuk dapat menghubungkan
informasi-informasi baru secara teratur. Jika murid mencoba mencari kejelasan bahwa pelajar, harus
belajar yang bermakna. Strategi mengajar
yang baik akan mencegah terjadinya rote learning yaitu dengan cara meminta
murid untuk dapat mengatakan ide-ide
baru menurut cara atau kata-kata mereka sendiri,dan memaksanya untuk menentukan
inti daripada pengetahuan atau informasi baru itu.beberapa prosedur untuk
belajar secara bermakna :
a. Menggunakan advance oragnizes yaitu disajikan dalam tingkat observasi yang
lebih tinggi. Guru menyajikan bahan dalam sub-sub konsep yang dapat membantu
siswa dalam menggolong-golongkan bahan baru itu kondisi belajar menjadi
bermakna bila si pelajar mempunyai ide yang relevan dalam struktur kognitifnya
dengan bahan baru itu. Lupa bisa terjadi karena ada interfensi dengan hal-hal
yang telah dipelajari atau dengan bahan baru yang telah dipelajari itu.
Prosedur
tersebut dapat juga dijalankan dengan membagi academic subject kedalam
konsep-konsep sub konsep yang disusun secara hirerarchial. Atau melalui proses
diferensiasi yang progresif. Dari yang sederhana ke hal yang kompleks.
b. Dengan intergrative reconselation yaitu ide baru diintegrasikan dengan ide
yang telah diplajari sebelumnya. Tetapi prosedur ini ada kekurangannya, yaitu :
1. Dosen atau authors banyak menggunakan
istilah terhadap konsep yang sama, hasilnya akan menjadi rote learning.
2. Murid yang tidak dapat melihat hubungan
yang penting didalam bahan itu ia akan gagal mengerti dan memahami isi
pelajaran.
3. Bisa terjadi murid menghubungkan bahan
baru dengan bahan lain yang sebetulnya tidak relevan.
Faktor - faktor yang Mempengaruhi
Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang
mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963), ialah struktur kognitif
yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu.
Prasyarat-prasyarat dari belajar
bermakna adalah sebagai berikut:
1. Materi
yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial
2. Anak
yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna,
jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna
Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna.
Banyak siswa mengikuti pelejarn – pelajaran yang kelihatannya tidak relevan
dengan kebutuhan mereka pada saat itu.
Kebermaknaan materi pelajaran secara
potensial tergantung pada dua faktor :
1.
Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis
2.
Gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi
yang nonarbitrer (materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui) dan
substantif ( materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah
arti.
Kelebihan dari belajar menurut teori
Ausubel
Menurut Ausubel dan juga Novak
(1997), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna,yaitu:
1. Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi
yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsume-subsumer,
jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi
yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada
subsume, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah
terjadi “lupa”.
Prinsip dan Karakteristik belajar
Menurut Ausubel
1. Belajar Bermakna
Inti dari teori Ausubel tentang
belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1996). Bagi Ausubel, belajar bermakna
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Peristiwa psikologi tentang belajar
bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang telah ada
dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar bermakna informasi baru
diasimilasikan pada subsume-subsumer relevan yang telah ada dalam struktur
kognitif.
2. Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif
seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer relevan,
maka informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak dilakukan usaha untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep yang sudah ada dalam
struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.
D.
Teori Pemrosesan Informasi: Robert Gagne
Teori Pembelajaran yang dikemukan oleh Robert Gagne
disebut dengan “teori pemrosesan informasi” (information
processing theory), dan “teori kondisi-kondisi pembelajaran” (conditions of learning).
Dalam masalah belajar, Gagne memberikan dua
definisi, yaitu :
a. Belajar adalah suatu proses untuk
memperoleh motivasi daalm pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingakah
laku.
b. Belajar adalah pengetahuan atau
keterampilan yang diperoleh dari instruksi.
Asumsi yang mendasari teori Gagne adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pada
pembelajaran. Hasil pembelajaran manusia pada dasarnya bersifat kumulatif, yang
berarti bahwa hasil pembelajaran yang dicapai individu adalah merupakan
kumpulan keseluruhan hasil-hasil pembelajaran sebelumnya yang saling terkait.
Gagne berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil
pembelajaran. Dalam pemrosesan informasi itu terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal ialah (1) keadaan di dalam diri individu yang diperlukan untuk
mencapai hasil pembelajaran, dan (2) proses kognitif yang terjadi dari dalam
individu selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan kondisi eksternal
ialah berbagai rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran. Interaksi antara kondisi internal dan kondisi eksternal
menghasilkan hasil pembelajaran.
Menurut teori Gagne, hasil pembelajaran merupakan
keluaran dari pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capabilities) yang terdiri atas:
(1) Informasi verbal
Informasi
verbal ialah hasil pembelajaran yang berupa
informasi yang dinyatakan dalam bentuk verbal (kata-kata atau kalimat). Orang
dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar, dalam hal ini
dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu itu perlu intelegensi.
(2) Kecakapan intelektual
Manusia mengadakan
interaksi dengan dunia luar menggunakan simbol-simbol. Kemampuan belajar dengan
cara inilah yang disebut “kemampuan intelektual”. Misalnya, penggunaan
simbol-simbol dalam matematik, seperti penambahan, pembagian, perkalian, dsb.
(3) Strategi kognitif
Strategi
kognitif ialah
kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dalam mengelola (management)
keseluruhan aktivitasnya. Dalam proses pembelajaran, strategi kognitif ini
merupakan kemampuan mengendalikan ingatan dan cara-cara
Berfikir agar
terjadi aktivitas yang efektif. Kalau kecakapan intelektual lebih banyak
terarah kepada hasil pembelajaran, maka strategi kognitif lebih banyak terarah
kepada proses pemikiran pelajar. Strategi kognitif ini memberikan kemudahan
bagi pelajaar untuk memilih informasi verbal dan kecakapan intelektual yang
sesuai untuk diterapkan selama proses pembelajaran dan berfikir.
(4) Sikap
Sikap
ialah hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih berbagai
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain, sikap dapat diartikan sebagai
keadaan di dalam diri individu yang akan memberi arah kecenderungan bertindak
dalam menghadapi suatu objek atau rangsangan. Dalam sikap terdapat pemikiran,
perasaan yang menyertai pemikiran, dan kesiapan untuk bertindak.
(5) Kecakapan motorik
Kecakapan
motorik ialah hasil pembelajaran yang berupa
kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik. Misalnya melempar
bola, main tenis, mengemudi mobil, mengetik huruf, dan sebagainya.
Peringkat proses pembelajaran menurut teori Gagne
terjadi melalui delapan fase, yaitu fase:
(1) Motivasi
Fase
motivasi ialah fase awal individu memulai
pembelajaran dengan adanya dorongan untuk melakukan suatu tindakan dalam
mencapai tujuan tertentu. Dalam fase ini, individu didorong untuk mengubah
perilakunya agar mencapai apa yang dikehendaki. Proses yang terjadi daalm fase
ini ialah proses ekspektasi (pengharapan),
yaitu individu memperkirakan hal-hal yang diharapkan akan dicapai atau diperoleh
pada akhir pembelajaran.
(2) Pemahaman
Fase
pemahaman ialah fase dimana individu menerima dan
memahami rangsangan yang berupa informasi, yang diperoleh dalam pembelajaran.
Dalam fase ini terjadi proses pemberian perhatian oleh pelajar. Perhatian ialah
berupa peningkatan aktivitas terhadap suatu rangsangan yang dirasakan lebih
berkenaan dengan keadaan dirinya. Apabila individu melakukan pembelajaran
dengan perhatian, maka informasi yang diterima akan diterima secara lebih baik.
(3) Pemerolehan
Fase
pemerolehan ialah fase di mana individu
mempersepsi atau memberikan makna kepada segala informasi yang sampai pada
dirinya. Dalam fase ini terjadi proses simpanan awal atau menyimpan hasil
pembelajaran pada peringkat awal (short
term memory). Untuk memudahkan penyimpanan, biasanya informasi-informasi
yang diterima diatur dalam kode-kode tertentu.
(4) Penahanan
Fase
penahanan ialah fase untuk menahan hasil
pembelajaran, yaitu informasi agar dapat dipakai untuk jangka panjang. Dalam fase
ini terjadi proses mengingat atau menyimpan informasi untuk jangka panjang (long term memory). Dengan proses ini
maka hasil pembelajaran dapat digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan.
(5) Ingatan kembal
Fase
ingatan kembali ialah fase untuk mengeluarkan
kembali informasi yang telah disimpan. Pengeluaran ini terjadi apabila ada
rangsangan untuk mengeluarkannya. Misalnya pertanyaan dalam ujian merupakan rangsangan
untuk mengeluarkan informasi yang telah disimpan beberapa waktu yang lalu.
Dalam fase ini terjadi proses mencari, yaitu informasi-informasi mana yang
perlu dikeluarkan dari tempat penyimpanan sesuai dengan permintaan rangsangan.
(6) Generalisasi
Fase
generalisasi yaitu fase dimana individu akan
menggunakan hasil pembelajaran yang telah dimiliki untuk suatu keperluan
tertentu. Fase ini terjadi apabila individu menghadapi suatu situasi atau rangsangan
yang memerlukan informasi-informasi yang telah dimilki. Dalam fase ini terjadi
proses pemindahan (transfer), yaitu
memindahkan suatu hasil pembelajaran dari keadaan khusus ke keadaan yang umum.
Misalnya menggunakan pengetahuan tentang psikologi pembelajaran dalam melakukan
pengajaran disekolah.
(7) Perlakuan
Fase
perlakuan ialah perwujudan perubahan perilaku
individu sebagai hasil pembelajaran. Dalam fase ini individu akan menunjukkan
perilaku-perilaku yang baru sebagai hasil pembelajarannya. Proses yang terjadi
dalam fase ini ialah adanya tindak balas yang berupa perilaku dalam menghadapi
rangsangan di lingkungan.
(8) Umpan balik
Fase
umpan balik ialah fase di mana individu memperoleh
umpan balik (feed back) dari perilaku
yang telah dilakukannya. Dengan perilaku yang ditunjukkan sebagai hasil
pembelajaran, mungkin individu akan memperoleh sesuatu yang menyenangkan atau
yang kurang menyenangkan. Proses yang terjadi adalah adanya peneguhan terhadap
perilakunya. Bila perilakunya memberikan kepuasan, maka akan diperkuat
(peneguhan positif), dan sebaliknya apabila perilakunya memberikan umpan balik
yang kurang memuaskan, maka akan dikurangi (peneguhan negatif).
Dengan merujuk kepada teori-teori pembelajaran
sebelumnya (behaviorisme, kognitif, gestalt), selanjutnya Gagne mengemukakan
ada delapan jenis bentuk pembelajaran , yaitu: (1) pembelajaran melalui
isyarat, (2) pembelajaran melalui rangsangan, (3) pembelajaran perantaian, (4) pembelajaran
perkaitan verbal, (5) pembelajaran membeda-bedakan, (6) pembelajaran konsep,
(7) pembelajaran menurut hukum, dan (8)
pembelajaran penyelesaian masalah.
Dalam kaitan pembelajaran di ruang kelas, Gagne
mengemukakan ada Sembilan langkah pengajaran yang perlu diperhatikan oleh guru.
Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Melakukan tindakan untuk menarik
perhatian siswa
2. Memberikan informasi kepada siswa
mengenai tujuan pengajaran dan topik-topik yang akan dibahas
3. Merangsang siswa untuk memulai aktivitas
pembelajaran
4. Menyampaikan isi pelajaran yang dibahas
sesuai dengan topik yang telah ditetapkan
5. Memberikan bimbingan bagi aktivitas
siswa dalam pembelajaran
6. Memberikan peneguhan kepada perilaku
pembelajaran siswa
7. Memberikan umpan balik terhadap perilaku
yang ditunjukkan siswa
8. Melaksanakan penilaian proses dan hasil
pembelajaran
9. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengingat dan menggunakan hasil pembelajaran
E.
Implementasi dari Teori-teori dalam Pembelajaran
1.
Implementasi Pembelajaran menurut teori Thorndike
Menurut
Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Praktek pendidikan
harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid
tahu apa yang telah diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu apa yang hendak
diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respons apa yang akan
diharapkan, dan kapan harus memberi ”hadiah”, serta pentingnya tujuan
pendidikan.
Ada beberapa aturan yang dibuat oleh Thorndike berkenaan dengan pembelajaran:
Ada beberapa aturan yang dibuat oleh Thorndike berkenaan dengan pembelajaran:
1. Perhatikan situasi murid.
2. Perhatikan respons apa yang diharapkan
dan situasi tersebut.
3. Ciptakan hubungan respon tersebut dengan
sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya.
4. Situasi-situasi lain yang sama jangan
diindahkan sekiranya dapat memutuskan hubungan tersebut.
5. Bila hendak menciptakan hubungan
tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis.
6. Buat hubungan tersebut sedemikian rupa
sehingga dapat perbuatan nyata.
7. Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah, antara lain:
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah, antara lain:
1. Sesuai dengan teorinya, sekolah harus mempunyai
tujuan-tujuan pendidikan yang dirumuskan dengan jelas. Tujuan pendidikan harus
sesuai dengan kemampuan siswa.
2. Bahan pembelajaran harus terbagi-bagi menurut.
unit-unit, sehingga guru dapat memanipulasi menurut bermacam-macam situasi.
Misalnya situasi menyenangkan, tidak menyenangkan dan lain-lain.
3. Proses belajar harus bertahap, dimulai dari yang
sederhana sampai kepada yang kompleks.
4. Motivasi tidak perlu ditimbulkan kecuali dalam
hubungan menentukan ’apa yang menyenangkan bagi siswa’, oleh karena ” tingkah
laku ditentukan oleh ”ekternal reward” dan bukan oleh ”intrinsic motivation”.
5. Tekanan pendidikan adalah perhatian pada
pelaksanaan respon-respon yang benar terhadap stimulus.
6. Respon-respon yang salah harus segera diperbaiki
agar tidak diperkuat melalui pengulangan.
7. Ujian-ujian yang teratur perlu dilakukan karena
dapat merupakan umpan balik bagi guru apakah proses belajar sesuai dengan
tujuan.
8. Bila siswa belajar baik, segera diberi hadiah,
bila siswa berbuat salah harus segera ditegur/diperbaiki.
9. Buat situasi belajar mirip dengan kehidupan nyata
sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan
kehidupan nyata.
10. Memberi masalah yang sulit kepada siswa tidak
akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
11. Pendidikan yang baik adalah memberikan pelajaran
di sekolah yang dapat digunakan di luar sekolah dan dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Implementasi
Pembelajaran menurut teori Skinner
Penarapan
teori tingkah laku (Skinner) dalam pengajaran itu, misalnya demikian. Siswa
akan mau belajar atau mengerjakan sesuatu karena adanya daya tarik nya, yaitu
nilai baik (hadiah) bila siswa itu berhasil belajar atau pelajarannya menarik.
Setelah belajar beberapa saat siswa dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan
yang dilanjutkan dengan disertakannya jawaban dari setiap pertanyaan itu; bila
jawaban siswa benar ia mendapat hadiah ( paling tidak kepuasan), bila salah ia
mendapat hukuman (paling tidak kekecewaan). Kegiatan Tanya jawab
(Stimulus-Respons) ini dilanjutkan dengan kegiatan belajar untuk penguatan,
yaitu kegiatan yang dapat menguatkan pemahaman siswa mengenai apa yang baru
saja dipelajari.
3.
Implementasi Pembelajaran menurut teori Au-Subel
a) Langkah-langkah
Pembelajaran
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka penting untuk
memperhatikan apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini merupakan
faktor dalam mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu dibuat
langkah-langkah pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan
belajar. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
1. Menentukan
tujuan pembelajaran.
2. Melakukan
identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awwal, motivasi, gaya belajar, dan
sebagainya)
3. Memilih
materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk
konsep-konsep inti.
4. Menentukan
topik-topik dan menampilkanya dalam bentuk advance organizer yang akan
dipelajari siswa.
5. Mempelajari
konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
6. Melakukan
penilaian proses dan hasil belajar siswa.
b) Kegiatan
Pembelajaran
Hakikat
belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan informasi,
reorganisasi, perceptual, dan proses internal. Berikut merupakan bentuk
kegiatan kegiatan pembelajaran:
1. Siswa
bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya.
2. Anak
usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan
siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan
pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk
menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
5. Pemahaman
dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu, dan sederhana ke kompleks.
6. Belajar
memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal.
7. Adanya
perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
4.
Implementasi Pembelajaran menurut teori Gagne
Implimentasi Teori Gagne dalam Pembelajaran
1. Mengontrol perhatian siswa.
2. Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar
yang diharapkan guru.
3. Merangsang dan mengingatkan kembali
kemampuan-kemampuan siswa.
4. Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari
tugas belajar.
5. Memberikan bimbingan belajar.
6. Memberikan umpan balik.
7. Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil
belajar yang telah dicapainya.
8. Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of
learning.
9. Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan
kemampuan yang baru diberikan.
5.
Implementasi Teori Belajar Mengajar
untuk Pengajaran Matematika Masa Kini
Bila kita telusuri teori belajar mengajar yang pernah di
terapkan dalam pengajaran matematika sejak permulaan abad 20 itu adalah : teori
disiplin mental yang mengutamakan kepada latihan dengan pelajaran yang sukar-sukar, aliran
pengantian dari thorndike dengan kurikulumnya yang berorientasi kepada latihan
hafal aliran “gestalt “ dengan tokohnya
browneel yang mengutamakan kepada pengertian aliran tingkah laku dengan tokoh
utamanya skinner dan gagne yang
mengutamakannya kepada pembentukan dan penelian tingkah laku yang nampak dan
aliran pisikologi perkembangan dengan pelopor utamanya piaget dan burner yang
falsafah pendidikannya mengutamakan kepada menyadarkan siswa untuk mau belajar,
belajar melalaui penemuan, dan semacamnya.
Pengajaran matematika, terutama yang
sedang berjalan, tidak akan lepas pengaruhnya dari pemilihan strategi belajar
mengajar. Sebab, strategi belajar mengajar untuk pengajaran matematika atau
berhitung tradisional yang mengutamakan kepada hafalan, ketrampilan menghitung,
kecepatan, hasil akhir dan wawasannya sempit itu berbeda dengan strategi belajar mengajar pengajaran
matematika modern yang mengutamakan pada pengertian, penemuan, proses, keakuratan,
dan wawasannya luas. Begitu pula kedua macam strategi belajar mengajar itu akan
berbeda dengan strategi belajar mengajar pengajaran matematika model lain, misalnya
pengajaran matematika yang sasaran utamanya adalah pemecahan masalah.
Di Indonesia penerapan teori belajar
mengajar itu adalah demikian. pada berhitung teori matematika tradisional teori
belajar-mengajar yang dipakai adalah aliran pengaitan dan Thorndike. Sedangkan
pada masa penanggalan matematika modern yang berlaku itu ada dua macam : Aliran
psikologi perkembangan dan Aliran tingkah laku. Pada pengajaran matematika
modern itu yang berlaku itu seharusnya dalah aliran psikologi perkembangan dan
memang demikianlah penyajian materi (isi) dalam buku-buku pelajaran matematika.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah
disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut pandangan Thorndike
bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan / tindakan.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Belajar
merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses
kognitif belajar.
2. Komponen-komponen
belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan
proses-proses kognitif pembelajar.
3. Hasil
belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan
kembali atau tidak (retrievel).
4. Dalam
perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping
pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu
ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5. Dalam
proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk
latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari
punishment yang tidak perlu.
6. Pada
intinya dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky mengandung banyak unsur
psikologi pendidikan, khususnya pokok bahasan pendidikan dan budaya. Jika dalam
teori Vygotsky anak perlu berinteraksi dengan budaya. Maka dalam filsafat
pendidikan pun dapat kita temukan bahwa bahasa, sebagai hasil budaya juga
menjadi sangat sentral bagi berkembangnya kognitif. Bahasa menjadi alat
transfer ilmu. Beberapa konsep dalam psikologi pendidikan juga selaras dengan
teori pengembangan kognitif Vygotsky. Psikologi pendidikan telah memberikan
landasan filosofis bagi teori-teori pengembangan intelektual.
7. Teori
belajar operan kondisioning Skinner memberi banyak kontribusi untuk
praktik pengajaran. Konsekuensi penguatan dan hukuman adalah bagian dari
kehidupan dan murid. Jika dipakai secara efektif, pandangan teori ini akan
mendapat membantu para guru dalam pengelolaan kelas. Demikian pula
prinsip-prinsip dan hukum-hukum belajar yang tertuang dalam teori ini akan
membantu guru dalam menggunakan pendekatan pengajaran yang cocok untuk mencapai
hasil belajar dan perubahan tingkah laku yang positif bagi anak didik.
8. Kritik
terhadap teori pengkondisian operan Skinner adalah seluruh pendekatan itu
terlalu banyak menekankan pada control eksternal atas perilaku murid. Teori ini
berpandangan bahwa strategi yang lebih baik adalah membantu murid belajar
mengontrol perilaku mereka sendiri dan menjadi termotivasi secara internal.
Beberapa kritikus mengatakan bahwa bukan ganjaran dan hukuman yang akan
mengubah perilaku, namun keyakinan atau ekspektasi bahwa perbuatan tertentu
akan diberi ganjaran atau hukuman. atau dengan kata lain teori behaviorisme
tidak memberi cukup perhatian pada proses kognitif dalam proses belajar.
B. Kritik dan
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari buku-buku lain
yang bisa menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang teori-teori di dalam psikologi
pembelajaran beserta implementasinya dalam pembelajaran matematika dan penulis
sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun, dari Dosen
Pembimbing dan para pembaca agar berikutnya makalah ini bisa lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi
Abu, Widodo Supriyono. Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Boeree,
George. Sejarah Psikologi. Jakarta:
Prima Shopie, 2005.
Djamarah,
Syaiful Bahri. PsikologiBelajar.
Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Iskandar.
Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Referensi, 2012.
Ruseffendi,
E.T. Pengantar Kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika untuk
Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito,
1991.
Surya,
Mohamad. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004.


0 komentar:
Posting Komentar