Kamis, 03 April 2014

Pendekatan dalam pembelajaran

Diposting oleh Unknown di 17.24

Disusun oleh :Kelompok 8
Dosen pengampu : Widodo Winarso,M.Pd.I
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Berbasiskan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah landasan berpikir dalam pembelajaran yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan dilakukan oleh siswa sendiri, dengan guru sebagai fasilitator yang berupa menciptakan iklim pembelajaran yang mendukung. Materi pembelajaran yang disampaikan disusun dalam suatu bentuk tertentu sehingga siswa tidak menjadi penerima informasi, melainkan membangun sendiri pengetahuan dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Melalui cara seperti ini siswa sampai pada pemahaman konsep atau rumusan matematika yang telah ditetapkan dalam tujuan instruksional.
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah proses mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Dalam paham ini kegiatan pembelajaran tidak diartikan sebagai pemindahan pengetahuan guru kepada siswanya (transfer of knowledge) semata, namun kegiatan ini harus mampu memberi kesempatan pada siswa membangun sendiri pengetahuannya, membuat materi yang dibangunnya menjadi bermakna, memiliki sifat penasaran (curiosity) yang tinggi, dan mampu berpikir kritis. Peran guru dalam proses pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme adalah mengarahkan siswa sehingga siswa mau berpikir, menyampaikan ide, konsep atau gagasannya, dan secara kritis mau menganalisis sendiri apa yang disampaikannya itu. Dengan demikian, dalam pendekatan konstruktivisme keaktifan siswa sangat diutamakan.
Saat siswa menyerap pengetahuan dan menyimpannya dalam memorinya, terjadi dua kegiatan dalam struktur mental anak, yaitu kegiatan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali konsep dalam pikiran akibat masuknya pengalaman dan informasi baru. Dalam proses asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk menghadapi fenomena-fenomena yang baru. Pada kegiatan akomodasi siswa melakukan perubahan terhadap konsep dan prinsip yang bertentangan dengan fenomena baru yang dihadapinya.
2.1 Pendekatan Berbasiskan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah landasan berpikir dalam pembelajaran yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan dilakukan oleh siswa sendiri, dengan guru sebagai fasilitator yang berupa menciptakan iklim pembelajaran yang mendukung. Materi pembelajaran yang disampaikan disusun dalam suatu bentuk tertentu sehingga siswa tidak menjadi penerima informasi, melainkan membangun sendiri pengetahuan dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Melalui cara seperti ini siswa sampai pada pemahaman konsep atau rumusan matematika yang telah ditetapkan dalam tujuan instruksional.
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah proses mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Dalam paham ini kegiatan pembelajaran tidak diartikan sebagai pemindahan pengetahuan guru kepada siswanya (transfer of knowledge) semata, namun kegiatan ini harus mampu memberi kesempatan pada siswa membangun sendiri pengetahuannya, membuat materi yang dibangunnya menjadi bermakna, memiliki sifat penasaran (curiosity) yang tinggi, dan mampu berpikir kritis. Peran guru dalam proses pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme adalah mengarahkan siswa sehingga siswa mau berpikir, menyampaikan ide, konsep atau gagasannya, dan secara kritis mau menganalisis sendiri apa yang disampaikannya itu. Dengan demikian, dalam pendekatan konstruktivisme keaktifan siswa sangat diutamakan.
Saat siswa menyerap pengetahuan dan menyimpannya dalam memorinya, terjadi dua kegiatan dalam struktur mental anak, yaitu kegiatan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali konsep dalam pikiran akibat masuknya pengalaman dan informasi baru. Dalam proses asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk menghadapi fenomena-fenomena yang baru. Pada kegiatan akomodasi siswa melakukan perubahan terhadap konsep dan prinsip yang bertentangan dengan fenomena baru yang dihadapinya.
2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan berbasis masalah, belajar tidak dipandang hanya sebagai menerima informasi untuk disimpan dalam memori siswa, namun belajar dilakukan dengan mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge), serta melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap informasi yang baru diterima. Prinsip ini sesuai dengan 4 pilar pendidikan yang diketengahkan UNESCO, yaitu belajar memahami (learning to know), belajar melakukan atau melaksanakan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), belajar bekerja sama atau hidup dalam kebersamaan (learning to live together). Pada tahun 1997, APNIEVE (Asia Pacific Network for International Education and Values Education) melengkapinya, sehingga pilar keempat menjadi learning to live together in peace and harmony.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pengembangan implementasi kurikulum dan strategi pembelajaran yang dimulai dengan memberi siswa dengan masalah nyata atau simulasi masalah, kemudian meminta mereka bekerja sama dalam suatu kelompok untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, dan menyajikannya di depan kelas, sehingga mereka menjadi siswa yang mampu mandiri (Ngeow, et al. 2001).
Pembelajaran berbasis masalah awalnya dikembangkan oleh Howard Barrows dengan mengikuti ajaran John Dewey, yang menyatakan bahwa guru harus mengajar sesuai dengan insting alami (natural instinct) untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu, guru harus menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem sosial yang dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah, di samping upaya pemecahan masalah dalam kelompok kecil.
Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam berfikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah dengan segmen-segmen yang mencakup keberperanan atau keterlibatan (engagement), inkuiri, investigasi, kinerja (performance), dan pemaknaan (debriefing).
Keterlibatan (engagement) meliputi upaya-upaya persiapan siswa untuk berperan sebagai pribadi yang mandiri dalam pemecahan masalah yang mampu berkolaborasi dengan pihak lain; menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mendorong siswa menyelesaikan masalahnya; dan mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan mengajukan konjektur, dugaan serta rencana penyelesaian.
Dalam inkuiri dan investigasi terdapat kegiatan-kegiatan eksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan mengumpulkan serta mendistribusikan informasi-informasi. Kinerja merupakan kegiatan pengajuan temuan-temuan, sedangkan debriefing meliputi kegiatan-kegiatan pengujian kelemahan dan keunggulan penyelesaian yang dihasilkan, dan melakukan refleksi atas efektivitas seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam penyelesaian masalah.
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa berperan aktif sebagai problem solver, decision makers, dan meaning makers, sedangkan guru berperan dalam mengembangkan aspek kognitif dan metakognitif siswa, dan tidak berperan sebagai sumber pengetahuan dan informasi
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran masalah adalah sebagai berikut:
Fase ke-
Indikator
Tingkah laku
1
Orientasi pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa dalam pemecahan masalah.
2
Mengorganisir siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisir tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dalam proses yang mereka gunakan.


2.4 Pendekatan Open-Ended
Masalah konvensional yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar dan sekolah menengah umumnya memiliki sifat yang sama, yaitu jawabannya tunggal dan sudah ditetapkan sebelumnya. Masalahnya juga sudah dirumuskan, sehingga jawabannya hanya terdiri atas dua kemungkinan: benar atau salah, atau bahkan jawaban yang benarnya pun unik (tunggal). Masalah seperti ini dinamakan masalah yang tertutup.
Dalam perkembangan pembelajaran yang dimunculkan Shimada (1977), telah dikembangkan masalah-masalah terbuka (open ended) atau masalah tak lengkap (incomplete problem). Masalah-masalah seperti ini memiliki banyak jawaban yang benar, yang juga mengandung banyak cara atau pendekatan.
Pendekatan open-ended, sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika, berawal dari kerja penelitian Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Pendekatan ini merupakan jawaban atas permasalahan pendidikan matematika sekolah dasar yang aktivitasnya kerap kali bersifat “frontal teaching”, yang menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, dan dilanjutkan dengan pemberian contoh penyelesaian beberapa soal.
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan open-ended suatu masalah yang tak lengkap terlebih dahulu dikemukakan pada siswa. Berikutnya beberapa jawaban yang benar dikemukakan sebagai jawaban terhadap masalah yang diberikan untuk memberikan pengalaman pada siswa tentang bagaimana menentukan sesuatu yang baru dalam proses yang berlangsung. Langkah ini dilakukan dengan memadukan pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir siswa yang telah diperoleh sebelumnya.
Jawaban dari suatu tugas atau pertanyaan yang sifatnya open-ended tidaklah mutlak tunggal, melainkan bisa terdiri dari berbagai jawaban. Ini berbeda dari pertanyaan tertutup yang hanya memiliki sebuah jawaban tunggal. Kedua jenis pertanyaan ini (tertutup dan terbuka) amat berguna dalam pembelajaran. Di saat siswa bekerja dalam kelompok, pertanyaan tertutup bisa mendorong mereka untuk mendiskusikan lebih jauh untuk memperoleh jawaban yang benar. Namun, pertanyaan yang terbuka juga sangat penting, karena siswa biasanya mampu menjawab sesuai dengan tingkat kemampuannya, karena tak ada jawaban tunggal yang benar.
Pertanyaan terbuka memungkinkan keterlibatan siswa lebih banyak karena siswa diminta memberi kontribusi yang lebih dari gagasan pribadinya. Ini berarti hasil dari kerja kelas akan lebih kaya lagi, dan akan muncul berbagai ide yang diekspresikan siswa, yang dapat dibandingkan dan didiskusikan. Dengan cara ini otonomi siswa memungkinkan guru memperoleh ide yang baik tentang apa yang mampu dihasilkan siswa.
Pertanyaan-pertanyaan open-ended merupakan alat yang mengagumkan yang mampu meningkatkan pikiran kreatif siswa, keterampilan pemecahan masalah, dan pertumbuhan kognitif mereka.
Nohda (2000: 1-39) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended didasarkan pada tiga prinsip:
1) Berkaitan dengan prinsip otonomi kegiatan siswa. Ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai nilai kegiatan-kegiatan siswa.
2) Berkaitan dengan hakikat terpadu dan evolusioner dari pengetahuan matematika. Materi matematika sifatnya teoritis dan sistematis. Makin penting esensi suatu pengetahuan, makin komprehensif pula pengetahuan analogi, pengetahuan khusus dan pengetahuan umum yang dikandungnya.
3) Berkaitan dengan keputusan yang diambil guru di dalam kelas. Di dalam kelas sering kali guru menemukan adanya ide-ide siswa yang di luar dugaan. Ini berarti guru perlu berperan aktif dalam menampilkan ide siswa tersebut secara utuh, dan memberi kesempatan pada siswa lainnya untuk memahami ide-ide yang tak terduga itu.
Permasalahan yang dikemukakan dalam pendekatan open-ended adalah masalah non rutin yang sifatnya terbuka. Pengertian terbuka ini bukan hanya dalam prosesnya, hasilnya, namun juga pada cara-cara pengembangannya. Proses terbuka artinya tipe soalnya membuat cara-cara penyelesaiannya terbuka, sedangkan hasil akhir yang terbuka mengandung arti bahwa jawaban soal adalah bersifat multiple (banyak jawaban). Cara pengembangan lanjutan terbuka berarti ketika siswa telah selesai mengerjakan penyelesaian masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Ini menunjukkan bahwa pendekatan ini menyelesaikan masalah dan juga memunculkan masalah baru (from problem to problem).
Untuk mengimplementasikan pembelajaran dengan pendekatan open-ended terdapat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu “menerima” (accepting) dan “menantang” (challenge)(Brown dan Walter, 2003). Menerima (accepting) berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan, sementara menantang (challenge) berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang untuk situasi yang diberikan, sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah matematika.

2.5 Pendekatan Matematika Realistik
Konstruktivisme berasal dari kata “to construct” yang artinya menyusun, mengajukan, membentuk, atau membangun. Teori konstruktivisme merupakan teori belajar yang menekankan bahwa para siswa yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran tidak begitu saja menerima pengetahuan, tapi mereka secara aktif membangun pengetahuannya secara individual.
Pembelajaran matematika realistik (realistic mathematics education) adalah paradigma baru dalam pembelajaran yang dikembangkan di Belanda beberapa tahun yang lalu. Melalui pendekatan ini, pembelajaran matematika diawali dengan hal-hal yang tidak formal yang dikenal siswa dalam kehidupan sehari-harinya, atau didasari konsep sebelumnya yang sudah dikenal siswa.
Pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas prinsip bahwa matematika pada hakikatnya merupakan kegiatan manusia (human activities), sehingga tiap-tiap kegiatan di dalamnya harus mencerminkan kegiatan siswa yang membuat siswa senang belajar, dengan melibatkan sebanyak mungkin contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan erat dengan konsep yang dipelajarinya. Siswa, melalui contoh konkret kehidupan sehari-hari, melakukan penelaahan suatu konsep, pola, keteraturan, prosedur (algoritma), teorema, atau dalil dengan bantuan guru sebagai pengarah atau fasilitator. Hasil penelaahan siswa itu bermuara pada hasil dalam bentuk penemuan kembali di bawah bimbingan guru (guided reinvention).
Pembelajaran dengan pendekatan realistik menerapkan masalah-masalah konteks yang dijadikan sebagai sumber ide, dan konsep matematika yang dijadikan sebagai landasan konsep berikutnya, dan sebagai aplikasi konsep matematika pada bidang-bidang lainnya. Siswa diberi kesempatan untuk melatih dirinya dalam merumuskan model dari situasi yang terjadi, mengekspresikannya dalam diagram secara skematis dengan bantuan simbol-simbol matematika yang diperlukan. Melalui proses kreatif ini siswa didorong untuk menyumbangkan pemikirannya secara lisan atau tulisan dalam bentuk gagasan yang konstruktif dan produktif. Siswa mengemukakan gagasannya dalam bentuk prosedur penyelesaian, dasar pemikiran atau alasan pembuktian yang digunakannya, mulai dari tingkatan informal hingga tingkatan formal-deduktif. Dalam pembelajaran realistik keterkaitan antar topik atau materi yang diberikan sangat diperhatikan.
Di awal pembelajaran ini pertama-tama diungkapkan suatu masalah yang dianalisis dengan cara menyatakannya dalam bentuk visual, misalnya skema atau diagram, kemudian dicari pola-pola keteraturan atau keterkaitan antar unsur-unsurnya. Selanjutnya keteraturan itu dirumuskan dalam sebuah bentuk ekspresi yang mengarah ke matematika formal.
Fungsi guru dalam proses pembelajaran dengan pendekatan ini adalah sebagai pembimbing siswa yang mengantar siswa dari aspek-aspek informal menuju aspek-aspek formal, menciptakan jembatan pemahaman sehingga siswa sampai pada tahapan formal dengan penuh makna dan didasari apa yang telah diperolehnya. Transfer inilah yang menjadi tugas guru yang berfungsi sebagai fasilitator.
Proses dari aspek informal menuju aspek formal atau matematika informal (horizontal mathematization) menuju matematika formal (vertical mathematization) merupakan dua proses pematematikaan (matematisasi) yang amat berlainan. Dalam aspek yang disebut pertama siswa mampu mengenali permasalahan di sekelilingnya atau ide dan konsep yang pernah dipelajarinya yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajarinya. Dalam aspek kedua siswa melakukan upaya pengonstruksian dalam bentuk rumusan secara umum, atau ekspresi matematik dalam bentuk generalisasi yang sifatnya berlaku umum, meskipun mungkin mereka belum mampu membuktikan apakah generalisasi yang disusunnya itu dapat dibuktikan kembali secara deduktif.

2.6 Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan teori-teori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan. Suparti dan Budiastra (2008: 4.1) mengungkapkan bahwa pendekatan keterampilan proses yaitu pendekatan yang menekankan pada fakta dan pendekatan konsep yang digunakan dalam pembelajaran IPA yang didasarkan pada langkah kegiatan dalam menguji sesuatu hal yang biasa dilakukan oleh para ilmuwan pada waktu membangun atau membuktikan suatu teori.
Conny Semiawan, 1985: 3 dalam Abimanyu dan Sulo Lipu La Sulo (2008: 5-1) mengungkapkan bahwa Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP) adalah pendekatan pembelajaran yang mengutamakan penerapan berbagai ketrampilan memproseskan perolehan dalam pembelajaran itu “Ketrampilan memproseskan perolehan adalah suatu konsep terlaksana yang dapat membantu kita untuk menerapkan Cara Belajar Siswa Aktif.
Sedangkan keterampilan proses terpadu meliputi pengontrolan variable, interpretasi data, perumusan hipotesa, pendefinisian variabel secara operasional, merancang eksperimen.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendekatan keterampilan prosesdalam belajar mengajar adalah melakukan proses belajar mengajar yang menekankan pentingya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh pemahaman. Pendekatan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya belajar yang diinginkan. Dengan menggunakan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai. Agar keterampilan proses yang dikembangkan dapat berjalan, siswa perlu dilatih keterampilan proses tersebut sebelum pendekatan keterampilan proses itu dapat dilaksanakan.
Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Keterampilan Proses
a. Kelebihan Pendekatan Keterampilan Proses
Beberapa kelebihan pendekatan ketrampilan proses yaitu:
1)      Pendekatan ketrampilan proses memberikan peserta didik pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Mereka lebih langsung mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajarnya dan lebih mengerti fakta serta konsep ilmu pengetahuan.
2)       Proses pengajaran yang berlangsung memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan, bukan sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai suatu ilmu pengetahuan.
3)      Pendekatan ketrampilan proses mengantarkan peserta didik untuk belajar ilmu pengetahuan baik sebagai proses ataupun sebagai produk ilmu pengetahuan sekaligus.
4)      Siswa memperoleh kesempatan bekerja dengan ilmu pengetahuan dan merasa senang.
5)      Siswa memperoleh kesempatan belajar proses memperoleh dan memproduk ilmu pengetahuan.
b. Kekurangan Pendekatan Keterampilan Proses
Beberapa kelebihan pendekatan ketrampilan proses
1)      Membutuhkan waktu yang relative lama untuk melakukannya
2)      Jumlah siswa dalam kelas haeus relative kecil, karena setiap siswa memerlukan perhatian dari guru.
3)      Memerlukan perencanaan dengan teliti.
4)      Tidak menjamin setiap siswa akan dapat mencapai tujuan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
5)      Sulit membuat siswa turut aktuf secara merata selama proses berlangsungnya pembelajaran.

2.7 Pendekatan induktif   
pendekatan induktif suatu penalaran dari khusus ke umum. Dalam pendekatan induktif penyajian bahan ajar dimulai dari contoh-contoh kongkrit yang mudah dipahami siswa. Berdasarkan contoh-contoh tersebut siswa dibimbing menyusun suatu kesimpulan., kebenaran kesimpulan yang disusun secara indutif ini ditentukan tepat tidaknya (atau representative tidaknya) contoh yang dipilih. Biasanya makin banyak contoh makin besar pula tingkat kebenaran kesimpulannya.
Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu. Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang Guru ajar. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung.
Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. 
Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok-pokok.

2.8 Pendekatan deduktif 
Pendekatan deduktif merupakan suatu penalaran dari umum ke khusus, maksudnya memberikan penjelasan devinisi terlebih dahulu kemudian mencari contoh-contoh. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. 
Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran.

2.9 Pendekatan Intuisi
Sementara itu pendekatan riset pasar bertumpu pada informasi atau fakta pasar yang dikumpulkan. David Ogilvy dalam bukunya, Ogilvy on Advertising, mengungkapkan ada sepuluh hal yang dapat diperoleh riset untuk memberikan analisa strategis, yakni:
1.      Riset terkadang dapat memperoleh ide produk baru dari konsumen potensial. Tetapi persepsi konsumen tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, sehingga berlebihan mengharapkan muncul ide yang revolusioner.
2.      Riset dapat meneliti reaksi konsumen terhadap produk baru saat masih dalam tahapan konseptual. Jika diperlukan, sejumlah konsep yang berbeda dapat diuji-cobakan untuk mendapatkan konsep yang berpeluang paling sukses.
3.      Riset dapat menentukan formula, cita rasa, wangi, warna, atau atribut produk lainnya yang memiliki daya tarik atau alternatif yang paling disukai konsumen.
4.      Riset dapat menemukan sejumlah desain paket yang disukai untuk terjual dan profil konsumen yang menggunakannya.
5.      Riset dapat mengestimasi potensial penjualan dari produk baru berikut belanja iklan yang dibutuhkan untuk meraih profit maksimum. Dalam beberapa kondisi, riset dapat memprediksi pengaruh harga terhadap penjualan produk dan indikasi harga yang perlu dikenai pada sebuah produk.
6.      Saat produk siap di pasaran, riset dapat menentukan bagaimana konsumen menilai perbandingannya dengan produk lain yang baru dibeli.
7.      Riset dapat membantu memutuskan positioning yang optimal untuk sebuah produk.
8.      Riset dapat menentukan faktor-faktor apa yang penting dalam pengambilan keputusan pembelian, kosa kata apa yang cocok digunakan untuk membicarakan tentang produk tersebut. Lalu koran atau majalah apa yang dibaca, stasiun radio apa yang didengar, dan program televisi apa yang ditonton.
9.      Riset dapat menentukan komunikasi iklan apa yang diharapkan.
10.  Riset dapat menentukan sebuah argumentasi. Kadang satu-satunya cara memecahkan perbedaan pendapat atau keputusan dapat digunakan hasil riset independen sebagai penengah.
Berlandaskan metodologi ilmiah, semakin tinggi reliabilitas dan validitas dari sebuah riset, semakin dipercaya hasil analisa yang diperoleh. Sebaliknya riset pasar yang salah dalam metodologi dan analisis, akan menghasilkan riset yang rendah reliabilitas dan validitasnya. Analisa hasil riset yang salah dipastikan akan menyebabkan pengambilan keputusan yang salah dan berujung pada kerugian strategis.
Ciri riset yang baik adalah:
•    Berorientasi (awal) pada masalah.
•    Berorientasi (hasil) pada tindakan.
•    Efisien dalam biaya.
•    Menggunakan metode riset yang tepat.
•    Sampel yang cukup.
•    Reliabel.
Ciri riset yang buruk adalah:
•    Sangat membingungkan dan tidak terarah.
•    Tidak membantu dalam pengambilan keputusan.
•    Biaya yang besar dan tidak efisien.
•    Menghasilkan hasil riset yang salah.
Sebagai resume akhir, kedua pendekatan baik intuisi maupun analisa data (riset) tidaklah perlu dikontradiksikan, mana yang lebih baik dan mana yang tidak. Karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling disinergikan. Namun yang perlu digarisbawahi, pendekatan intuisi bukan berarti mengambil keputusan dengan coba-coba, try & error, tanpa pertimbangan intuitif yang matang. Dan pendekatan riset pasar bukan sekedar menghasilkan angka-angka, probabilitas, estimasi, atau model yang “memukau” tanpa dilandasi dengan metode riset yang teruji validitas dan reliabilitasnya.

2.10 Pembahasan aksiomatik sebagai pendekatan ‘baru’
Dengan menggunakan konsep yang sudah banyak dikenal sebelumnya, kemajuan pengembangan internal matematika semakin lama semakin lambat. Masalah-masalah yang belum terpecahkan semakin lama semakin ‘sedikit’.Akibatnya masalah yang tersisa semakin sulit dipecahkan. Hal ini tentu saja sama dengan sains dasar lainnya. Oleh karena dalam pengembangannya biasanya menggunakan pendekatan lain sebagai terobosan (break-trough). Beberapa pendekatan alternatif yang dianggap signifikan dalam pengembangan matematika antara lain adalah
1. Fondasi analitik probabilitas
Dengan menggunakan konsep probabilitas sebelumnya yang menggunakan konsep frekunsi terjadinya suatu kejadian, penurunan teorema-teorema dalam teori probabilitas dianggaptidak dapat dilakukan secara analitis.

2. Logika aksiomatis
Dalam menurunkan (membuktikan) secara analitis suatu teorema biasanya menggunakan argumentasi deduktif. Hal ini dianggap sebagai kajian awal logika matematisi dengan menggunakan logika dasar ya/tidak dalam suatu pernyataan matematis (atau kaitannya dengan pernyataan lain). Akan tetapi kadang-kadang hal ini sulit dilakukan ataupun menemui jalan buntu. Pada pertengahan abad 20, diperkenalkan pendekatan logika matematis yang dapat membantu dalam penurunan teorema matematis. Pendekatan logika aksiomatis dalam logika matematis merupakan dasar dalam logika formal, teori himpunan secara logika aksiomatik, teori pembuktian. Konsep-konsep penunjang logika matematis tersebut diperkenalkan antara lain oleh Kurt Godel, David Hilbert, L. E. J. Brouwer, Bertand Russel. Kajian konsep-konsep dalam logika matematis tersebut dikenal sekarang sebagai bidang yang disebut dengan fondasi matematika.Kajian tersebut dianggap pokok-pokok kajian sebagai kerangka bidang filsafat matematika (sebagai cabang kajian dalam filsafat).

2.11 Pembelajaran Analitik-Sintetik
Analitik-sintetik dapat dipandang sebagai pendekatan dan metode pembelajaran.
Menurut Rusefendi (1988), pendekatan analitik adalah cara menyelesaikan soal dimulai dari yang tidak diketahui, sedangkan pendekatan sintetik adalah cara menyelesaikan soal dimulai dari yang diketahui. Sedangkan menurut Hudoyo (2001), metode analitik adalah cara menyelesaikan masalah dimulai dari yang tidak diketahui, mencari hubungan antara yang tidak diketahui dengan yang diketahui, memikirkan langkah-langkah penyelesaiannya, akhirnya mendapatkan hasil yang dikehendaki.  Sementara metode sintetik merupakan lawan dari metode analitik. 
Selain itu, analitik-sintetik dapat pula dipandang sebagai kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Munandar (1999), mengatakan bahwa kegiatan analitik adalah kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam hal membedakan, menguji, menggolongkan, menyususn, menguraikan, membandingkan, membuat deduksi, dan memeriksa. Sementara kegiatan sintetik meliputi merancang, menggabungkan, menambah, membangun,  mengembangkan, mengelola, merencanakan, mengusulkan, dan membuat hipotesis.  Hal senada dikemukakan pula oleh Sternberg (2002), yang menyatakan bahwa kegiatan analitik adalah kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam hal menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, membandingkan dan mengkontraskan, dan mempertimbangkan nilai. Sementara kegiatan sintetik adalah kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam hal menciptakan, menemukan, menyelidiki, membayangkan, menduga, dan menyatukan.
Beberapa kegiatan analitik yang mungkin dilakukan pada pembelajaran matematika adalah menganalisis suatu masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih sederhana, seperti menganalisis elemen, menganalisis hubungan, menganalisis pola, dan menganalisis aturan. Sementara kegiatan sintetiknya adalah memadukan bagian-bagian secara logik sehingga diperoleh penyeleseaian suatu masalah, seperti menemukan hubungan, menemukan konsep, menemukan konjektur, dan menyusun pembuktian. Ketika melakukan kegiatan analitik, anak banyak diberikan kesempatan untuk:
(1) Membaca dengan kritis; (2) Meningkatkan daya analisis; (3) Mengembangkan kemampuan observasi/mengamati; (4) Meningkatkan rasa ingin tahu , meningkatkan kemampuan bertanya dan refleksi; (5) Metakognisi; (6) Melakukan diskusi. Ketika melakukan kegiatan sintetik, anak banyak diberikan kesempatan untuk :
(1) Mengemukakan ide-ide melalui tanya-jawab (brainstorming); (2) Melakukan spekulasi, membuat hipotesis, mengembangkan ide-ide (ekspansi), melakukan modifikasi, membuat analogi, dan membuat prediksi.
Pembelajaran analitik-sintetik termasuk pembelajaran berbasis masalah Oleh karena itu, karakteristik dari pembelajaran berbasis masalah juga merupakan karakteristik dari pembelajaran analitik-sintetik. Secara rinci  karakteristik dari pembelajaran analitik-sintetik adalah  sebagai berikut :(1) Pembelajaran diawali dengan mengajukan masalah matematika kepada siswa sehingga akan terjadinya konflik kognitif yang akan mengakibatkan terjadinya proses asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi; (2) Masalah dianalisis dari hal yang cukup besar dan umum menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, lebih khusus dan lebih sederhana; (3) Konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh siswa secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif; (4) Pemberian intervensi dari guru ketika menganalisis masalah, mensintesis konjektur dan pembuktian konjektur, dan ketika menyelesaikan masalah; (5) Menyajikan hasil kegiatan analisis dan sintesisnya di forum kelas; (6) Menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal, terutama tipe analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Herman (2006), (1) pembelajaran diawali dengan menghadapkan siswa dengan masalah matematika, (2)  penyelesaian masalah dilakukan melalui kegiatan kolaboratif, (3) siswa diberikan kesempatan untuk melakukan elaborasi masalah dan eksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah, (3) siswa dituntut untuk menyajikan temuan penyelesaian masalah kepada teman dan gurunya, (4) siswa dibiasakan untuk melakukan   refleksi   tentang   efektivitas   cara   berpikir   dan kegiatan yang telah ditempuhnya.
Salah satu karakteristik pembelajaran analitik-sintetik yang  cukup  menarik  adalah adanya intervensi dari guru, yaitu teknik intervensi secara konvergen atau divergen.  Teknik intervensi secara konvergen adalah bentuk intervensi yang dilakukan guru dengan cara mengajukan pertanyan investigasi yang bersifat  tertutup. Sementara teknik intervensi secara divergen  adalah   bentuk  intervensi yang  dilakukan guru dengan cara mengajukan pertanyan investigasi yang bersipat terbuka. Berkaitan dengan pertanyaan konvergen dan divergen,
Ruseffendi (1988) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pertanyaan konvergen adalah pertanyaan yang hanya memiliki satu jawaban yang benar. Sementara pertanyaan divergen adalah pertanyaan   yang    memiliki   jawaban   tidak  terduga  dan lebih dari satu jawaban yang benar. Selain itu, Munandar (2004) menyatakan pula bahwa pertanyaan konvergen adalah pertanyaan yang jawabannya memberikan tekanan pada pencapaian jawaban tunggal, paling tepat, atau satu-satunya jawaban yang benar.   Sementara   pertanyaan   divergen adalah pertanyaan yang  jawabannya memberikan  tekanan pada keragaman banyaknya jawaban yang benar.Ketika melakukan intervensi konvergen atau divergen dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana siswa diberikan kesempatan untuk berkembangnya sikap-sikap berikut :
(1). Sikap klarifikatif yaitu sikap selalu ingin menjelaskan penyelesaian masalah  yang telah dibuatnya. (2). Sikap terbuka yaitu sikap mau menerima penyelesaian masalah yang  berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda. (3). Sikap obyektif  yaitu sikap membuat penilaian yang adil terhadap suatu penyelesaian masalah.(4). Sikap fleksibel yaitu sikap menyesuaikan pendiriannya dengan informasi baru yang lebih canggih.(5). Sikap berfantasi yaitu sikap melakukan perenungan untuk mencari ide  penyelesaian masalah. (6). Sikap berinkubasi yaitu sikap hati-hati dan teliti dalam mengeluarkan ide baru  suatu penyelesaian masalah.(7). Sikap tidak takut mengambil resiko yang telah diperbuatnya.(8).Sikap sensitif yaitu sikap peka melihat kekurangsempurnaan penyelesaian masalah yang dibuat oleh orang lain.(9). Sikap tenang dan selalu bergairah dalam menyelesaikan suatu masalah.













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan mencakup teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajran terdiri dari dua jenis pendekatan, yaitu: pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach) dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach).
Istilah pendekatan pembelajaran dalam matematika lebih lazim digunakan untuk kegiatan yang dirancang oleh guru agar bahan belajar dapat dimaknai oleh siswa secara benar, efisien, dan efektif. Pendekatan pembelajaran yang dimaksud dan biasa digunakan dalam matematika adalah pendekatan intuitif, induktif, deduktif, analitik, sintetik, spiral, tematik, realistik, dan konstekstual.
Penjelasan singkat dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut ini. Intuitif adalah proses pemaknaan berdasarkan pengalaman-alamiah-insting-naluri, induktif dari contoh  ditarik kesimpulan, deduktif dari bentuk umum diambil contoh, analitik dari keseluruhan dirinci menjadi bagian, sintetik dari bagian dipadukan menjadi generalisasi, spiral dari mudah ke sukar-simpel ke kompleks-sempit ke luas-dangkal ke dalam, tematik dari konteks kehidupan nyata dengan tema tertentu ke konsep, realistik dari realitas kehidupan ke konsep abstrak, kontekstual dari konteks aktual yang dialami siswa dengan konstruksivis ke pemaknaan.



DAFTAR PUSTAKA




0 komentar:

Posting Komentar

 

shandy tiara Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review