Disusun oleh :Kelompok 8
Dosen pengampu : Widodo Winarso,M.Pd.I
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Berbasiskan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah landasan
berpikir dalam pembelajaran yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan
dilakukan oleh siswa sendiri, dengan guru sebagai fasilitator yang berupa
menciptakan iklim pembelajaran yang mendukung. Materi pembelajaran yang
disampaikan disusun dalam suatu bentuk tertentu sehingga siswa tidak menjadi
penerima informasi, melainkan membangun sendiri pengetahuan dengan terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran. Melalui cara seperti ini siswa sampai
pada pemahaman konsep atau rumusan matematika yang telah ditetapkan dalam
tujuan instruksional.
Menurut teori konstruktivisme, belajar
adalah proses mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman, baik
pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Dalam paham ini kegiatan
pembelajaran tidak diartikan sebagai pemindahan pengetahuan guru kepada
siswanya (transfer of knowledge) semata, namun kegiatan ini harus mampu
memberi kesempatan pada siswa membangun sendiri pengetahuannya, membuat materi
yang dibangunnya menjadi bermakna, memiliki sifat penasaran (curiosity)
yang tinggi, dan mampu berpikir kritis. Peran guru dalam proses pembelajaran
yang berlandaskan teori konstruktivisme adalah mengarahkan siswa sehingga siswa
mau berpikir, menyampaikan ide, konsep atau gagasannya, dan secara kritis mau
menganalisis sendiri apa yang disampaikannya itu. Dengan demikian, dalam
pendekatan konstruktivisme keaktifan siswa sangat diutamakan.
Saat siswa
menyerap pengetahuan dan menyimpannya dalam memorinya, terjadi dua kegiatan
dalam struktur mental anak, yaitu kegiatan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan akomodasi adalah
penyusunan kembali konsep dalam pikiran akibat masuknya pengalaman dan
informasi baru. Dalam proses asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang
telah mereka punyai untuk menghadapi fenomena-fenomena yang baru. Pada kegiatan
akomodasi siswa melakukan perubahan terhadap konsep dan prinsip yang
bertentangan dengan fenomena baru yang dihadapinya.
2.1 Pendekatan
Berbasiskan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah landasan
berpikir dalam pembelajaran yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan
dilakukan oleh siswa sendiri, dengan guru sebagai fasilitator yang berupa
menciptakan iklim pembelajaran yang mendukung. Materi pembelajaran yang
disampaikan disusun dalam suatu bentuk tertentu sehingga siswa tidak menjadi
penerima informasi, melainkan membangun sendiri pengetahuan dengan terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran. Melalui cara seperti ini siswa sampai
pada pemahaman konsep atau rumusan matematika yang telah ditetapkan dalam
tujuan instruksional.
Menurut teori konstruktivisme, belajar
adalah proses mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman, baik
pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Dalam paham ini kegiatan
pembelajaran tidak diartikan sebagai pemindahan pengetahuan guru kepada
siswanya (transfer of knowledge) semata, namun kegiatan ini harus mampu
memberi kesempatan pada siswa membangun sendiri pengetahuannya, membuat materi
yang dibangunnya menjadi bermakna, memiliki sifat penasaran (curiosity)
yang tinggi, dan mampu berpikir kritis. Peran guru dalam proses pembelajaran
yang berlandaskan teori konstruktivisme adalah mengarahkan siswa sehingga siswa
mau berpikir, menyampaikan ide, konsep atau gagasannya, dan secara kritis mau
menganalisis sendiri apa yang disampaikannya itu. Dengan demikian, dalam
pendekatan konstruktivisme keaktifan siswa sangat diutamakan.
Saat siswa
menyerap pengetahuan dan menyimpannya dalam memorinya, terjadi dua kegiatan
dalam struktur mental anak, yaitu kegiatan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan akomodasi adalah
penyusunan kembali konsep dalam pikiran akibat masuknya pengalaman dan
informasi baru. Dalam proses asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang
telah mereka punyai untuk menghadapi fenomena-fenomena yang baru. Pada kegiatan
akomodasi siswa melakukan perubahan terhadap konsep dan prinsip yang
bertentangan dengan fenomena baru yang dihadapinya.
2.3 Pembelajaran
Berbasis Masalah
Dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan berbasis masalah, belajar tidak dipandang hanya sebagai menerima
informasi untuk disimpan dalam memori siswa, namun belajar dilakukan dengan
mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki (prior
knowledge), serta melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap informasi yang
baru diterima. Prinsip ini sesuai dengan 4 pilar pendidikan yang diketengahkan
UNESCO, yaitu belajar memahami (learning to know), belajar melakukan
atau melaksanakan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning
to be), belajar bekerja sama atau hidup dalam kebersamaan (learning to
live together). Pada tahun 1997, APNIEVE (Asia Pacific Network for
International Education and Values Education) melengkapinya, sehingga pilar
keempat menjadi learning to live together in peace and harmony.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan
suatu pengembangan implementasi kurikulum dan strategi pembelajaran yang
dimulai dengan memberi siswa dengan masalah nyata atau simulasi masalah,
kemudian meminta mereka bekerja sama dalam suatu kelompok untuk mengembangkan
keterampilan memecahkan masalah, dan menyajikannya di depan kelas, sehingga
mereka menjadi siswa yang mampu mandiri (Ngeow, et al. 2001).
Pembelajaran berbasis masalah awalnya
dikembangkan oleh Howard Barrows dengan mengikuti ajaran John Dewey, yang
menyatakan bahwa guru harus mengajar sesuai dengan insting alami (natural
instinct) untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu, guru harus menciptakan
di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem sosial yang dicirikan dengan
prosedur demokrasi dan proses ilmiah, di samping upaya pemecahan masalah dalam
kelompok kecil.
Pembelajaran berbasis masalah melibatkan
siswa dalam berfikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah dengan segmen-segmen
yang mencakup keberperanan atau keterlibatan (engagement), inkuiri,
investigasi, kinerja (performance), dan pemaknaan (debriefing).
Keterlibatan (engagement)
meliputi upaya-upaya persiapan siswa untuk berperan sebagai pribadi yang
mandiri dalam pemecahan masalah yang mampu berkolaborasi dengan pihak lain;
menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mendorong siswa menyelesaikan
masalahnya; dan mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan
mengajukan konjektur, dugaan serta rencana penyelesaian.
Dalam inkuiri dan investigasi terdapat
kegiatan-kegiatan eksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta
implikasinya, dan mengumpulkan serta mendistribusikan informasi-informasi.
Kinerja merupakan kegiatan pengajuan temuan-temuan, sedangkan debriefing
meliputi kegiatan-kegiatan pengujian kelemahan dan keunggulan penyelesaian yang
dihasilkan, dan melakukan refleksi atas efektivitas seluruh pendekatan yang
telah digunakan dalam penyelesaian masalah.
Dalam pembelajaran berbasis masalah
siswa berperan aktif sebagai problem solver, decision makers, dan
meaning makers, sedangkan guru berperan dalam mengembangkan aspek
kognitif dan metakognitif siswa, dan tidak berperan sebagai sumber pengetahuan
dan informasi
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran masalah
adalah sebagai berikut:
|
Fase ke-
|
Indikator
|
Tingkah laku
|
|
1
|
Orientasi
pada masalah
|
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa dalam pemecahan
masalah.
|
|
2
|
Mengorganisir
siswa untuk belajar
|
Guru membantu
siswa mendefinisikan dan mengorganisir tugas-tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
|
|
3
|
Membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
|
4
|
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
|
|
5
|
Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru membantu
siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
dalam proses yang mereka gunakan.
|
2.4 Pendekatan
Open-Ended
Masalah konvensional yang digunakan
dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar dan sekolah menengah umumnya
memiliki sifat yang sama, yaitu jawabannya tunggal dan sudah ditetapkan
sebelumnya. Masalahnya juga sudah dirumuskan, sehingga jawabannya hanya terdiri
atas dua kemungkinan: benar atau salah, atau bahkan jawaban yang benarnya pun
unik (tunggal). Masalah seperti ini dinamakan masalah yang tertutup.
Dalam perkembangan pembelajaran yang
dimunculkan Shimada (1977), telah dikembangkan masalah-masalah terbuka (open
ended) atau masalah tak lengkap (incomplete problem).
Masalah-masalah seperti ini memiliki banyak jawaban yang benar, yang juga
mengandung banyak cara atau pendekatan.
Pendekatan open-ended, sebagai
salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika, berawal dari kerja penelitian
Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda,
2000). Pendekatan ini merupakan jawaban atas permasalahan pendidikan matematika
sekolah dasar yang aktivitasnya kerap kali bersifat “frontal teaching”,
yang menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, dan dilanjutkan
dengan pemberian contoh penyelesaian beberapa soal.
Dalam proses pembelajaran dengan
pendekatan open-ended suatu masalah yang tak lengkap terlebih dahulu
dikemukakan pada siswa. Berikutnya beberapa jawaban yang benar dikemukakan
sebagai jawaban terhadap masalah yang diberikan untuk memberikan pengalaman
pada siswa tentang bagaimana menentukan sesuatu yang baru dalam proses yang
berlangsung. Langkah ini dilakukan dengan memadukan pengetahuan, keterampilan
dan cara berpikir siswa yang telah diperoleh sebelumnya.
Jawaban dari suatu tugas atau
pertanyaan yang sifatnya open-ended tidaklah mutlak tunggal, melainkan
bisa terdiri dari berbagai jawaban. Ini berbeda dari pertanyaan tertutup yang
hanya memiliki sebuah jawaban tunggal. Kedua jenis pertanyaan ini (tertutup dan
terbuka) amat berguna dalam pembelajaran. Di saat siswa bekerja dalam kelompok,
pertanyaan tertutup bisa mendorong mereka untuk mendiskusikan lebih jauh untuk
memperoleh jawaban yang benar. Namun, pertanyaan yang terbuka juga sangat
penting, karena siswa biasanya mampu menjawab sesuai dengan tingkat
kemampuannya, karena tak ada jawaban tunggal yang benar.
Pertanyaan terbuka memungkinkan
keterlibatan siswa lebih banyak karena siswa diminta memberi kontribusi yang
lebih dari gagasan pribadinya. Ini berarti hasil dari kerja kelas akan lebih
kaya lagi, dan akan muncul berbagai ide yang diekspresikan siswa, yang dapat
dibandingkan dan didiskusikan. Dengan cara ini otonomi siswa memungkinkan guru
memperoleh ide yang baik tentang apa yang mampu dihasilkan siswa.
Pertanyaan-pertanyaan open-ended
merupakan alat yang mengagumkan yang mampu meningkatkan pikiran kreatif siswa,
keterampilan pemecahan masalah, dan pertumbuhan kognitif mereka.
Nohda (2000: 1-39) menyatakan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan open-ended didasarkan pada tiga prinsip:
1) Berkaitan
dengan prinsip otonomi kegiatan siswa. Ini menunjukkan bahwa kita harus
menghargai nilai kegiatan-kegiatan siswa.
2) Berkaitan
dengan hakikat terpadu dan evolusioner dari pengetahuan matematika. Materi
matematika sifatnya teoritis dan sistematis. Makin penting esensi suatu
pengetahuan, makin komprehensif pula pengetahuan analogi, pengetahuan khusus
dan pengetahuan umum yang dikandungnya.
3) Berkaitan
dengan keputusan yang diambil guru di dalam kelas. Di dalam kelas sering kali
guru menemukan adanya ide-ide siswa yang di luar dugaan. Ini berarti guru perlu
berperan aktif dalam menampilkan ide siswa tersebut secara utuh, dan memberi
kesempatan pada siswa lainnya untuk memahami ide-ide yang tak terduga itu.
Permasalahan yang dikemukakan dalam
pendekatan open-ended adalah masalah non rutin yang sifatnya terbuka.
Pengertian terbuka ini bukan hanya dalam prosesnya, hasilnya, namun juga pada
cara-cara pengembangannya. Proses terbuka artinya tipe soalnya membuat
cara-cara penyelesaiannya terbuka, sedangkan hasil akhir yang terbuka
mengandung arti bahwa jawaban soal adalah bersifat multiple (banyak
jawaban). Cara pengembangan lanjutan terbuka berarti ketika siswa telah selesai
mengerjakan penyelesaian masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru
dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Ini menunjukkan bahwa
pendekatan ini menyelesaikan masalah dan juga memunculkan masalah baru (from
problem to problem).
Untuk
mengimplementasikan pembelajaran dengan pendekatan open-ended terdapat
aspek yang perlu diperhatikan, yaitu “menerima” (accepting) dan
“menantang” (challenge)(Brown dan Walter, 2003). Menerima (accepting)
berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau
situasi yang sudah ditentukan, sementara menantang (challenge) berkaitan
dengan sejauh mana siswa merasa tertantang untuk situasi yang diberikan,
sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah matematika.
2.5 Pendekatan
Matematika Realistik
Konstruktivisme berasal dari kata “to
construct” yang artinya menyusun, mengajukan, membentuk, atau membangun.
Teori konstruktivisme merupakan teori belajar yang menekankan bahwa para siswa
yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran tidak begitu saja menerima
pengetahuan, tapi mereka secara aktif membangun pengetahuannya secara
individual.
Pembelajaran matematika realistik (realistic
mathematics education) adalah paradigma baru dalam pembelajaran yang
dikembangkan di Belanda beberapa tahun yang lalu. Melalui pendekatan ini,
pembelajaran matematika diawali dengan hal-hal yang tidak formal yang dikenal
siswa dalam kehidupan sehari-harinya, atau didasari konsep sebelumnya yang
sudah dikenal siswa.
Pendekatan realistik dalam pembelajaran
matematika merupakan pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas prinsip bahwa
matematika pada hakikatnya merupakan kegiatan manusia (human activities),
sehingga tiap-tiap kegiatan di dalamnya harus mencerminkan kegiatan siswa yang
membuat siswa senang belajar, dengan melibatkan sebanyak mungkin contoh nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan erat dengan konsep yang
dipelajarinya. Siswa, melalui contoh konkret kehidupan sehari-hari, melakukan
penelaahan suatu konsep, pola, keteraturan, prosedur (algoritma), teorema, atau
dalil dengan bantuan guru sebagai pengarah atau fasilitator. Hasil penelaahan
siswa itu bermuara pada hasil dalam bentuk penemuan kembali di bawah bimbingan
guru (guided reinvention).
Pembelajaran dengan pendekatan
realistik menerapkan masalah-masalah konteks yang dijadikan sebagai sumber ide,
dan konsep matematika yang dijadikan sebagai landasan konsep berikutnya, dan
sebagai aplikasi konsep matematika pada bidang-bidang lainnya. Siswa diberi
kesempatan untuk melatih dirinya dalam merumuskan model dari situasi yang
terjadi, mengekspresikannya dalam diagram secara skematis dengan bantuan
simbol-simbol matematika yang diperlukan. Melalui proses kreatif ini siswa
didorong untuk menyumbangkan pemikirannya secara lisan atau tulisan dalam
bentuk gagasan yang konstruktif dan produktif. Siswa mengemukakan gagasannya
dalam bentuk prosedur penyelesaian, dasar pemikiran atau alasan pembuktian yang
digunakannya, mulai dari tingkatan informal hingga tingkatan formal-deduktif.
Dalam pembelajaran realistik keterkaitan antar topik atau materi yang diberikan
sangat diperhatikan.
Di awal pembelajaran ini pertama-tama
diungkapkan suatu masalah yang dianalisis dengan cara menyatakannya dalam
bentuk visual, misalnya skema atau diagram, kemudian dicari pola-pola
keteraturan atau keterkaitan antar unsur-unsurnya. Selanjutnya keteraturan itu
dirumuskan dalam sebuah bentuk ekspresi yang mengarah ke matematika formal.
Fungsi guru dalam proses pembelajaran
dengan pendekatan ini adalah sebagai pembimbing siswa yang mengantar siswa dari
aspek-aspek informal menuju aspek-aspek formal, menciptakan jembatan pemahaman
sehingga siswa sampai pada tahapan formal dengan penuh makna dan didasari apa
yang telah diperolehnya. Transfer inilah yang menjadi tugas guru yang berfungsi
sebagai fasilitator.
Proses dari
aspek informal menuju aspek formal atau matematika informal (horizontal
mathematization) menuju matematika formal (vertical mathematization)
merupakan dua proses pematematikaan (matematisasi) yang amat berlainan. Dalam
aspek yang disebut pertama siswa mampu mengenali permasalahan di sekelilingnya
atau ide dan konsep yang pernah dipelajarinya yang berkaitan dengan materi yang
akan dipelajarinya. Dalam aspek kedua siswa melakukan upaya pengonstruksian
dalam bentuk rumusan secara umum, atau ekspresi matematik dalam bentuk
generalisasi yang sifatnya berlaku umum, meskipun mungkin mereka belum mampu
membuktikan apakah generalisasi yang disusunnya itu dapat dibuktikan kembali
secara deduktif.
2.6 Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan
keterampilan proses adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa,
sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan
teori-teori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri.
Siswa diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah
seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses
tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan. Suparti dan Budiastra
(2008: 4.1) mengungkapkan bahwa pendekatan keterampilan proses yaitu pendekatan
yang menekankan pada fakta dan pendekatan konsep yang digunakan dalam
pembelajaran IPA yang didasarkan pada langkah kegiatan dalam menguji sesuatu
hal yang biasa dilakukan oleh para ilmuwan pada waktu membangun atau
membuktikan suatu teori.
Conny
Semiawan, 1985: 3 dalam Abimanyu dan Sulo Lipu La Sulo (2008: 5-1)
mengungkapkan bahwa Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP) adalah pendekatan
pembelajaran yang mengutamakan penerapan berbagai ketrampilan memproseskan
perolehan dalam pembelajaran itu “Ketrampilan memproseskan perolehan adalah
suatu konsep terlaksana yang dapat membantu kita untuk menerapkan Cara Belajar
Siswa Aktif.
Sedangkan
keterampilan proses terpadu meliputi pengontrolan variable, interpretasi data,
perumusan hipotesa, pendefinisian variabel secara operasional, merancang
eksperimen.
Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendekatan
keterampilan prosesdalam belajar mengajar adalah melakukan proses belajar
mengajar yang menekankan pentingya belajar melalui proses mengalami untuk
memperoleh pemahaman. Pendekatan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan berhasil tidaknya belajar yang diinginkan. Dengan menggunakan
keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan
sikap dan nilai. Agar keterampilan proses yang dikembangkan dapat berjalan,
siswa perlu dilatih keterampilan proses tersebut sebelum pendekatan
keterampilan proses itu dapat dilaksanakan.
Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan
Keterampilan Proses
a.
Kelebihan Pendekatan Keterampilan Proses
Beberapa kelebihan pendekatan
ketrampilan proses yaitu:
1) Pendekatan ketrampilan proses memberikan
peserta didik pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Mereka
lebih langsung mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajarnya
dan lebih mengerti fakta serta konsep ilmu pengetahuan.
2) Proses pengajaran yang berlangsung memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan, bukan
sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai suatu ilmu pengetahuan.
3) Pendekatan ketrampilan proses
mengantarkan peserta didik untuk belajar ilmu pengetahuan baik sebagai proses
ataupun sebagai produk ilmu pengetahuan sekaligus.
4) Siswa memperoleh kesempatan bekerja
dengan ilmu pengetahuan dan merasa senang.
5) Siswa memperoleh kesempatan belajar
proses memperoleh dan memproduk ilmu pengetahuan.
b. Kekurangan Pendekatan Keterampilan Proses
Beberapa
kelebihan pendekatan ketrampilan proses
1)
Membutuhkan
waktu yang relative lama untuk melakukannya
2)
Jumlah
siswa dalam kelas haeus relative kecil, karena setiap siswa memerlukan
perhatian dari guru.
3)
Memerlukan
perencanaan dengan teliti.
4)
Tidak
menjamin setiap siswa akan dapat mencapai tujuan sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
5)
Sulit
membuat siswa turut aktuf secara merata selama proses berlangsungnya
pembelajaran.
2.7 Pendekatan
induktif
pendekatan induktif suatu penalaran
dari khusus ke umum. Dalam pendekatan induktif penyajian bahan ajar dimulai
dari contoh-contoh kongkrit yang mudah dipahami siswa. Berdasarkan
contoh-contoh tersebut siswa dibimbing menyusun suatu kesimpulan., kebenaran
kesimpulan yang disusun secara indutif ini ditentukan tepat tidaknya (atau
representative tidaknya) contoh yang dipilih. Biasanya makin banyak contoh
makin besar pula tingkat kebenaran kesimpulannya.
Sebuah argumen induktif meliputi dua
komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk
mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu. Kesimpulan
dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang Guru ajar.
Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak
bisa membuktikan dalil untuk mendukung.
Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7,
11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat
kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali
“tidak membuktikan“.
Guru beresiko di dalam suatu
argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya,
suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal
seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi.
Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari
yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh
pokok-pokok.
2.8 Pendekatan deduktif
Pendekatan deduktif merupakan suatu
penalaran dari umum ke khusus, maksudnya memberikan penjelasan devinisi
terlebih dahulu kemudian mencari contoh-contoh. Ciri utama matematika adalah
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika
bersifat konsisten.
Berarti dengan strategi penemuan
deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk
mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru
cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran
siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran.
2.9 Pendekatan Intuisi
Sementara itu
pendekatan riset pasar bertumpu pada informasi atau fakta pasar yang
dikumpulkan. David Ogilvy dalam bukunya, Ogilvy on Advertising, mengungkapkan
ada sepuluh hal yang dapat diperoleh riset untuk memberikan analisa strategis,
yakni:
1.
Riset terkadang dapat memperoleh ide produk baru dari konsumen
potensial. Tetapi persepsi konsumen tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman
sebelumnya, sehingga berlebihan mengharapkan muncul ide yang revolusioner.
2. Riset dapat meneliti
reaksi konsumen terhadap produk baru saat masih dalam tahapan konseptual. Jika
diperlukan, sejumlah konsep yang berbeda dapat diuji-cobakan untuk mendapatkan
konsep yang berpeluang paling sukses.
3. Riset dapat menentukan
formula, cita rasa, wangi, warna, atau atribut produk lainnya yang memiliki
daya tarik atau alternatif yang paling disukai konsumen.
4. Riset dapat menemukan
sejumlah desain paket yang disukai untuk terjual dan profil konsumen yang
menggunakannya.
5. Riset dapat
mengestimasi potensial penjualan dari produk baru berikut belanja iklan yang
dibutuhkan untuk meraih profit maksimum. Dalam beberapa kondisi, riset dapat
memprediksi pengaruh harga terhadap penjualan produk dan indikasi harga yang
perlu dikenai pada sebuah produk.
6. Saat produk siap di
pasaran, riset dapat menentukan bagaimana konsumen menilai perbandingannya
dengan produk lain yang baru dibeli.
7. Riset dapat membantu
memutuskan positioning yang optimal untuk sebuah produk.
8. Riset dapat menentukan
faktor-faktor apa yang penting dalam pengambilan keputusan pembelian, kosa kata
apa yang cocok digunakan untuk membicarakan tentang produk tersebut. Lalu koran
atau majalah apa yang dibaca, stasiun radio apa yang didengar, dan program
televisi apa yang ditonton.
9. Riset dapat menentukan
komunikasi iklan apa yang diharapkan.
10. Riset dapat menentukan
sebuah argumentasi. Kadang satu-satunya cara memecahkan perbedaan pendapat atau
keputusan dapat digunakan hasil riset independen sebagai penengah.
Berlandaskan metodologi ilmiah, semakin tinggi reliabilitas dan
validitas dari sebuah riset, semakin dipercaya hasil analisa yang diperoleh.
Sebaliknya riset pasar yang salah dalam metodologi dan analisis, akan
menghasilkan riset yang rendah reliabilitas dan validitasnya. Analisa hasil
riset yang salah dipastikan akan menyebabkan pengambilan keputusan yang salah
dan berujung pada kerugian strategis.
Ciri riset yang baik adalah:
• Berorientasi (awal) pada masalah.
• Berorientasi (hasil) pada tindakan.
• Efisien dalam biaya.
• Menggunakan metode riset yang tepat.
• Sampel yang cukup.
• Reliabel.
Ciri riset yang buruk adalah:
• Sangat membingungkan dan tidak terarah.
• Tidak membantu dalam pengambilan keputusan.
• Biaya yang besar dan tidak efisien.
• Menghasilkan hasil riset yang salah.
Sebagai resume akhir, kedua pendekatan baik intuisi maupun
analisa data (riset) tidaklah perlu dikontradiksikan, mana yang lebih baik dan
mana yang tidak. Karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa
saling disinergikan. Namun yang perlu digarisbawahi, pendekatan intuisi bukan
berarti mengambil keputusan dengan coba-coba, try & error, tanpa
pertimbangan intuitif yang matang. Dan pendekatan riset pasar bukan sekedar
menghasilkan angka-angka, probabilitas, estimasi, atau model yang “memukau”
tanpa dilandasi dengan metode riset yang teruji validitas dan reliabilitasnya.
2.10 Pembahasan aksiomatik sebagai
pendekatan ‘baru’
Dengan
menggunakan konsep yang sudah banyak dikenal sebelumnya, kemajuan pengembangan
internal matematika semakin lama semakin lambat. Masalah-masalah yang belum
terpecahkan semakin lama semakin ‘sedikit’.Akibatnya masalah yang tersisa
semakin sulit dipecahkan. Hal ini tentu saja sama dengan sains dasar lainnya.
Oleh karena dalam pengembangannya biasanya menggunakan pendekatan lain sebagai
terobosan (break-trough). Beberapa pendekatan alternatif yang dianggap
signifikan dalam pengembangan matematika antara lain adalah
1. Fondasi analitik probabilitas
Dengan
menggunakan konsep probabilitas sebelumnya yang menggunakan konsep frekunsi
terjadinya suatu kejadian, penurunan teorema-teorema dalam teori probabilitas
dianggaptidak dapat dilakukan secara analitis.
2. Logika aksiomatis
Dalam menurunkan
(membuktikan) secara analitis suatu teorema biasanya menggunakan argumentasi
deduktif. Hal ini dianggap sebagai kajian awal logika matematisi dengan menggunakan
logika dasar ya/tidak dalam suatu pernyataan matematis (atau kaitannya dengan
pernyataan lain). Akan tetapi kadang-kadang hal ini sulit dilakukan ataupun
menemui jalan buntu. Pada pertengahan abad 20, diperkenalkan pendekatan logika
matematis yang dapat membantu dalam penurunan teorema matematis. Pendekatan
logika aksiomatis dalam logika matematis merupakan dasar dalam logika formal,
teori himpunan secara logika aksiomatik, teori pembuktian. Konsep-konsep
penunjang logika matematis tersebut diperkenalkan antara lain oleh Kurt Godel,
David Hilbert, L. E. J. Brouwer, Bertand Russel. Kajian konsep-konsep dalam
logika matematis tersebut dikenal sekarang sebagai bidang yang disebut dengan
fondasi matematika.Kajian tersebut dianggap pokok-pokok kajian sebagai kerangka
bidang filsafat matematika (sebagai cabang kajian dalam filsafat).
2.11 Pembelajaran Analitik-Sintetik
Analitik-sintetik dapat dipandang sebagai pendekatan
dan metode pembelajaran.
Menurut Rusefendi (1988), pendekatan analitik adalah
cara menyelesaikan soal dimulai dari yang tidak diketahui, sedangkan pendekatan
sintetik adalah cara menyelesaikan soal dimulai dari yang diketahui. Sedangkan
menurut Hudoyo (2001), metode analitik adalah cara menyelesaikan masalah
dimulai dari yang tidak diketahui, mencari hubungan antara yang tidak diketahui
dengan yang diketahui, memikirkan langkah-langkah penyelesaiannya, akhirnya
mendapatkan hasil yang dikehendaki.
Sementara metode sintetik merupakan lawan dari metode analitik.
Selain itu,
analitik-sintetik dapat pula dipandang sebagai kegiatan yang menampilkan
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Munandar (1999), mengatakan bahwa
kegiatan analitik adalah kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam hal
membedakan, menguji, menggolongkan, menyususn, menguraikan, membandingkan,
membuat deduksi, dan memeriksa. Sementara kegiatan sintetik meliputi merancang,
menggabungkan, menambah, membangun,
mengembangkan, mengelola, merencanakan, mengusulkan, dan membuat hipotesis. Hal senada dikemukakan pula oleh Sternberg
(2002), yang menyatakan bahwa kegiatan analitik adalah kegiatan yang
menampilkan aktivitas siswa dalam hal menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan,
membandingkan dan mengkontraskan, dan mempertimbangkan nilai. Sementara
kegiatan sintetik adalah kegiatan yang menampilkan aktivitas siswa dalam hal
menciptakan, menemukan, menyelidiki, membayangkan, menduga, dan menyatukan.
Beberapa kegiatan
analitik yang mungkin dilakukan pada pembelajaran matematika adalah
menganalisis suatu masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih
sederhana, seperti menganalisis elemen, menganalisis hubungan, menganalisis
pola, dan menganalisis aturan. Sementara kegiatan sintetiknya adalah memadukan
bagian-bagian secara logik sehingga diperoleh penyeleseaian suatu masalah,
seperti menemukan hubungan, menemukan konsep, menemukan konjektur, dan menyusun
pembuktian. Ketika melakukan kegiatan analitik, anak banyak diberikan
kesempatan untuk:
(1) Membaca dengan
kritis; (2) Meningkatkan daya analisis; (3) Mengembangkan kemampuan
observasi/mengamati; (4) Meningkatkan rasa ingin tahu , meningkatkan kemampuan
bertanya dan refleksi; (5) Metakognisi; (6) Melakukan diskusi. Ketika melakukan
kegiatan sintetik, anak banyak diberikan kesempatan untuk :
(1) Mengemukakan
ide-ide melalui tanya-jawab (brainstorming); (2) Melakukan spekulasi, membuat
hipotesis, mengembangkan ide-ide (ekspansi), melakukan modifikasi, membuat
analogi, dan membuat prediksi.
Pembelajaran
analitik-sintetik termasuk pembelajaran berbasis masalah Oleh karena itu,
karakteristik dari pembelajaran berbasis masalah juga merupakan karakteristik
dari pembelajaran analitik-sintetik. Secara rinci karakteristik dari pembelajaran
analitik-sintetik adalah sebagai berikut
:(1) Pembelajaran diawali dengan mengajukan masalah matematika kepada siswa
sehingga akan terjadinya konflik kognitif yang akan mengakibatkan terjadinya
proses asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi; (2) Masalah dianalisis dari hal
yang cukup besar dan umum menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, lebih khusus
dan lebih sederhana; (3) Konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh
siswa secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif; (4)
Pemberian intervensi dari guru ketika menganalisis masalah, mensintesis
konjektur dan pembuktian konjektur, dan ketika menyelesaikan masalah; (5)
Menyajikan hasil kegiatan analisis dan sintesisnya di forum kelas; (6)
Menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal, terutama
tipe analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara karakteristik pembelajaran
berbasis masalah menurut Herman (2006), (1) pembelajaran diawali dengan
menghadapkan siswa dengan masalah matematika, (2) penyelesaian masalah dilakukan melalui
kegiatan kolaboratif, (3) siswa diberikan kesempatan untuk melakukan elaborasi
masalah dan eksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah, (3) siswa
dituntut untuk menyajikan temuan penyelesaian masalah kepada teman dan gurunya,
(4) siswa dibiasakan untuk melakukan
refleksi tentang efektivitas
cara berpikir dan kegiatan yang telah ditempuhnya.
Salah satu
karakteristik pembelajaran analitik-sintetik yang cukup
menarik adalah adanya intervensi
dari guru, yaitu teknik intervensi secara konvergen atau divergen. Teknik intervensi secara konvergen adalah
bentuk intervensi yang dilakukan guru dengan cara mengajukan pertanyan
investigasi yang bersifat tertutup.
Sementara teknik intervensi secara divergen
adalah bentuk intervensi yang dilakukan guru dengan cara mengajukan
pertanyan investigasi yang bersipat terbuka. Berkaitan dengan pertanyaan
konvergen dan divergen,
Ruseffendi (1988)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pertanyaan konvergen adalah pertanyaan
yang hanya memiliki satu jawaban yang benar. Sementara pertanyaan divergen
adalah pertanyaan yang memiliki
jawaban tidak terduga
dan lebih dari satu jawaban yang benar. Selain itu, Munandar (2004)
menyatakan pula bahwa pertanyaan konvergen adalah pertanyaan yang jawabannya
memberikan tekanan pada pencapaian jawaban tunggal, paling tepat, atau satu-satunya
jawaban yang benar. Sementara pertanyaan
divergen adalah pertanyaan yang
jawabannya memberikan tekanan
pada keragaman banyaknya jawaban yang benar.Ketika melakukan intervensi
konvergen atau divergen dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan apa, mengapa,
dan bagaimana siswa diberikan kesempatan untuk berkembangnya sikap-sikap
berikut :
(1). Sikap klarifikatif yaitu sikap selalu ingin
menjelaskan penyelesaian masalah yang
telah dibuatnya. (2). Sikap terbuka yaitu sikap mau menerima penyelesaian
masalah yang berdasarkan pada sudut
pandang yang berbeda. (3). Sikap obyektif
yaitu sikap membuat penilaian yang adil terhadap suatu penyelesaian
masalah.(4). Sikap fleksibel yaitu sikap menyesuaikan pendiriannya dengan
informasi baru yang lebih canggih.(5). Sikap berfantasi yaitu sikap melakukan
perenungan untuk mencari ide
penyelesaian masalah. (6). Sikap berinkubasi yaitu sikap hati-hati dan
teliti dalam mengeluarkan ide baru suatu
penyelesaian masalah.(7). Sikap tidak takut mengambil resiko yang telah
diperbuatnya.(8).Sikap sensitif yaitu sikap peka melihat kekurangsempurnaan
penyelesaian masalah yang dibuat oleh orang lain.(9). Sikap tenang dan selalu
bergairah dalam menyelesaikan suatu masalah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendekatan
pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi,
menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan mencakup
teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajran terdiri dari dua
jenis pendekatan, yaitu: pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach) dan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach).
Istilah pendekatan pembelajaran dalam matematika lebih
lazim digunakan untuk kegiatan yang dirancang oleh guru agar bahan belajar
dapat dimaknai oleh siswa secara benar, efisien, dan efektif. Pendekatan
pembelajaran yang dimaksud dan biasa digunakan dalam matematika adalah
pendekatan intuitif, induktif, deduktif, analitik, sintetik, spiral, tematik,
realistik, dan konstekstual.
Penjelasan singkat dari istilah-istilah tersebut adalah
sebagai berikut ini. Intuitif adalah proses pemaknaan berdasarkan
pengalaman-alamiah-insting-naluri, induktif dari contoh ditarik kesimpulan, deduktif dari bentuk umum
diambil contoh, analitik dari keseluruhan dirinci menjadi bagian, sintetik dari
bagian dipadukan menjadi generalisasi, spiral dari mudah ke sukar-simpel ke
kompleks-sempit ke luas-dangkal ke dalam, tematik dari konteks kehidupan nyata
dengan tema tertentu ke konsep, realistik dari realitas kehidupan ke konsep
abstrak, kontekstual dari konteks aktual yang dialami siswa dengan
konstruksivis ke pemaknaan.
DAFTAR
PUSTAKA
- Arief, S. 2006. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
- Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
- Soleh, M. 1998. Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Depdikbud. Jakarta.
- Santosa, K. 2002. Pemilihan dan Pengembangan Media Pembelajaran. Makalah Pelatihan Desain Pembelajaran. BPG Semarang.
- Schramm, W. 1984. Media Besar Media Kecil. IKIP Semarang Press. Semarang.
- Sujana, N. 2003. Teknologi Pengajaran. Sinar Baru Algensindo. Bandung
- http://ebookbrowse.com/pendekatan-deduktif-induktif-dalam-pembelajaran-matematika-pdf-d352678896
- http://matematikrealistik.blogspot.com/2012/12/pembelajaran-matematika-dengan-metode.html
- https://www.google.com/search?q=ANALITIK+DALAM+PEMBELAJARAN+MATEMATIKA&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-beta
- (http://www.gindayinda.blogspot.com/2010/10/ pendekatan-keterampilan-proses.html
- (http://www.massofa.wordpress.com/2011/08/16 /pendekatan-ketrampilan-proses-dalam-belajar-mengajar/)


0 komentar:
Posting Komentar